Banyak Tawaran dari Perusahaan Besar, Setia jadi Honorer

Banyak Tawaran dari Perusahaan Besar, Setia jadi Honorer
Agustina Dewi Susanti menunjukkan salah satu buku karyanya yang berjudul Repihan Terakhir Kamis (2/8). Foto: IMAM NASRODIN/RADAR MALANG

”Akhirnya bikin buku pelajaran kimia yang bahasanya lebih sederhana. Biar pelajaran kimia nggak menakutkan seperti apa yang anak-anak bayangkan,” terangnya.

Tak hanya itu, Agustin juga pernah punya pengalaman saat mengajar kimia di sekolah kala itu. Tepatnya saat ada ulangan kimia dan matematika di hari yang sama. Jadi, siswanya membuat ”guyonan”: Kiamat alias kimia-matematika.

Tapi, Agustin bisa menerjemahkan maksud dari siswanya. ”Mungkin memang berat sungguhan. Ini juga alasan saya membuat buku pelajaran untuk anak-anak tadi,” ujar ibu dua anak ini.

Agustin mengaku hobi menulis sejak duduk di bangku sekolah dasar (SD). Waktu itu, dia sering menulis agendanya setiap hari di dalam buku diary. Di mana kebiasaan ini sudah sulit ditemui pada anak-anak zaman sekarang karena kalah dengan mainan berbasis teknologi terkini (gadget).

”Waktu kecil punya buku diary. Suka nulis di situ. Mungkin anak-anak sekarang nggak kenal dengan buku itu (diary),” tambahnya.

Lalu, berapakah gaji untuk guru honorer? Agustin tak langsung menjawab. Tiba-tiba dia menghentikan ceritanya. Lalu, dia mengambil napas panjang, dalam-dalam. Seolah-olah pertanyaan ini paling berat untuk dia jawab.

Karena dulu, dia pernah digaji di bawah rata-rata, meski mengajar hingga 24 jam pelajaran (JP) dalam seminggu, seperti guru berstatus ASN. Namun, dalam beberapa tahun terakhir ini, nasib guru honorer sudah relatif diperhatikan.

”Saya cuma bisa bilang, banyaknya harta nggak bisa menjamin kebahagiaan orang. Seperti tadi, (profesi guru) ini bukan hitung-hitungan matematika,” jelasnya.

Agustina Dewi Susanti tak tergiur untuk bekerja di perusahaan besar dan tetap setia menjadi guru honorer.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News