Bea setelah Gerilya ke Orang Tua

Oleh Dahlan Iskan

Bea setelah Gerilya ke Orang Tua
Bea setelah Gerilya ke Orang Tua

Dalam acara itu, hadir juga seorang kiai muda. Namanya Mustofa. Dia mengaku lulusan Pondok Pesantren Langitan, Tuban. Kini Kiai Mustofa sudah memiliki pondok pesantren sendiri di Nongkojajar, Pasuruan. Namanya: Pondok Pesantren Pitutur. Nama itu diambil dari nama desa setempat, Tutur, lalu ditambah Pi di depannya.

"Tahun depan saya ingin 100 santri saya bisa memenuhi syarat untuk dapat beasiswa ini," kata Mustofa penuh semangat.

Berkata begitu, dia mengarahkan wajahnya ke Lily Yoshica dan Andre Su. Dua orang itulah yang memimpin ITC sejak didirikan pada 2000 hingga kini. "Kami siapkan, Pak Kiai," ujar Lily, direktur ITC. Tahun ini Pesantren Pitutur baru bisa mengirimkan enam orang.

Melihat pribadi kiai muda ini, saya merasa ada sesuatu yang disembunyikan dari saya: Kehebatannya. Saya harus kejar dia dengan berbagai pertanyaan. Agar terungkap orang seperti apa kiai ini sebenarnya. Kerendahan hatinya memang luar biasa. Tapi, itu tidak bisa menyembunyikan kualitas pribadinya. Akhirnya ketahuan. Ternyata dia seorang dokter. Hanya, dia tidak pernah praktik.

Ternyata Kiai Mustofa juga menyembunyikan rahasia sukses lainnya. Agar tidak kelihatan sombong. Kiai Mustofa ternyata seorang penemu sistem pendidikan yang dia namakan konstruktivisme. Sistem itulah yang dia terapkan di Pondok Pesantren Pitutur.

Dengan sistem tersebut, nilai kelulusan siswa SMA-nya tertinggi di Jatim. Mata pelajaran fisika, kimia, dan matematikanya mendapat nilai 10. Teori-teori mengajar fisika, kimia, dan matematika di Pesantren Pitutur itu tidak sama dengan teori pengajaran yang sudah ada. Selepas pendidikan dokternya dulu, Mustofa ternyata menempuh pascasarjana bidang pendidikan.

Metode baru itu juga dia terapkan untuk pelajaran kitab kuning. Kitab kuning adalah istilah pondok pesantren untuk menyebut buku pelajaran agama Islam yang sulit sekali karena ditulis dengan huruf Arab tanpa kode-kode bunyi. Kiai Mustofa menceritakan pengalamannya saat menjadi santri di Pondok Pesantren Langitan. Dia perlu waktu 6 tahun untuk menguasai kitab kuning. "Dengan sistem yang saya temukan ini, cukup enam bulan," kata Mustofa.

Mustofa bertekad mengandalkan mutu untuk pengembangan pesantrennya. Dia tidak mau minta dan tidak mau menerima sumbangan dari mana pun. Ada sebuah perusahaan besar di Pasuruan yang pernah memaksanya menerima sumbangan. Dia tidak mau. Bahkan sumbangan dari orang tua santri pun dia tolak.

MEREKA cantik-cantik dan berjilbab. Mereka siap berangkat kuliah ke sembilan universitas di berbagai provinsi di Tiongkok. Mereka mendapat beasiswa

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News