Belajar Manajemen Bencana dari Negara-Negara Rawan Gempa
Tas darurat yang berisi alat-alat untuk bertahan hidup dalam situasi gawat selalu siap di rumah-rumah warga. Begitu gempa bumi terjadi, warga tinggal menyambar tas darurat itu, lantas menyelamatkan diri.
Sayangnya, di Negeri Sakura itu, hanya penduduk yang tanggap bencana. Wisatawan tetap buta. Maka, saat bencana terjadi, para turis menjadi korban. Itulah yang terjadi dalam gempa yang mengguncang Hokkaido bulan lalu.
"Staf hotel hanya merespons dalam bahasa Jepang," ujar salah seorang turis Korea Selatan (Korsel) yang menjadi korban selamat.
Wajar turis Korsel itu kesal. Bukan hanya staf berbahasa Jepang, selebaran informatif tentang bencana alam pun tertulis dalam huruf kanji.
"Kami begitu sibuk dengan penanganan bencana sehingga tidak bisa menyuplai informasi dalam bahasa lain," aku salah seorang petugas.
Beberapa aplikasi sebenarnya sudah ada untuk membantu para turis. Hanya, petunjuk penginstalannya pun menggunakan huruf kanji. "Dalam hal ini, pemerintah dan pihak hotel harus bekerja sama," tegas Shizuyo Yoshitomi, pengajar pada Nagoya University.
Selain Cile dan Jepang, Turki punya mekanisme penanggulangan bencana yang unggul. Sistem itu lahir pascagempa berkekuatan 7,5 SR yang mengguncang Marmara pada 17 Agustus 1999.
Kala itu sekitar 17.480 orang tewas. Belajar dari peristiwa pilu itu, kini Turki jauh lebih siap menghadapi bencana alam. Bahkan, pemerintah rutin merilis panduan prediksi bencana agar masyarakat selalu waspada.
Cile, Jepang, dan Turki menjadi teladan bagi negara lain dalam menyiasati gempa bumi. Kesiapan adalah hal yang paling utama
- Gempa Kembali Guncang Kapuas Hulu
- BNPB Merilis Dampak Gempa Tuban Bermagnitudo 6,5
- BMKG Pastikan Penyeberangan Laut di Pulau Jawa Aman Setelah Gempa Beruntun
- Gempa Berkekuatan 5,3 M Getarkan Wilayah Pesisir Selatan Sumbar
- Gempa Besar Mengguncang Sulut, Begini Penjelasan BMKG
- Sulut Diguncang 48 Gempa Tektonik Selama Sepekan