Benarkah Masalah Papua Mendekati Magrib?

Perspektif Inter-Mestik dalam Kajian Resolusi Konflik

Benarkah Masalah Papua Mendekati Magrib?
Dr. Velix Wanggai, MPA

Sedangkan Skenario Ketiga, yakni Skenario Progresif. Dalam skenario ini, muncul pilihan kebijakan yang luar biasa (thinking and acting outside the box) yang berlaku umum. Sebuah skenario yang memilih solusi komprehensif baik dalam konteks 'soft politics' dan 'high politics'. Alhasil, Negara wajib memiliki tawaran bairgaining yang bermakna bagi rakyat Tanah Papua.

Tawaran apa? Bisa jadi tawaran maksimal adalah "Rasa Merdeka dalam NKRI". Formulasi substansinya sangat tergantung dengan sebuah "The Papua Peace Talk" yang bersifat inklusif yang menjadi sebuah payung hukum baru untuk Tanah Papua.

Indonesia telah belajar dari cara mengelola konflik. Pernah ada resolusi konflik Maluku 1999 dengan "Malino Agreement". Demikian pula, Henry Dunant Centre (HDC) pernah berperan sebagai mediasi yang menghasilkan sebuah "Jeda Kemanusiaan" (Joint of Understanding for Humanitarian Pause) antara Indonesia - Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) di awal Desember 2002. Dan selanjutnya, Presiden ke-10 Finlandia Martti Ahtisaari dan the Crisis Management Initiative (CMI) sebagai lembaga 'peace broker' telah sukses memainkan peran mediator antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Alhasil, dicapai Helsinki Agreement pada 15 Agustus 2005.

Konteks dan kompleksitas Aceh berbeda dengan Papua. Namun model "The Aceh Way" pernah menjadi model resolusi konflik vertikal di era Presiden SBY.

Komitmen Presiden Joko Widodo begitu besar. "Ini bukan soal jumlah suara di Papua, namun ini soal komitmen dan perhatian pertama untuk Papua. Matahari senantiasa terbit dari timur, terbir dari Papua", demikian kata yang diungkapkan Joko Widodo ketika mengawali kampanye hari pertama di Jayapura, 5 Juni 2014. Sebuah kalimat yang sangat menyentuh hati rakyat Papua.

Kini saatnya, Negara (eksekutif, legislatif, partai politik, kampus, media, dan komponen bangsa) mensepakati narasi tunggal yang komprehensif untuk Tanah Papua. Saatnya Negara memilih apakah Skenario Realistik, Skenario Moderat, ataukah Skenario Progresif?

Pilihan ini menjadi persiapan agenda setting Negara untuk menuju sebuah "The Papua Peace Talk" yang menghadirkan rangkaian solusi yang fundamental bagi rakyat Papua.

Akhirnya, menarik apa yang diungkapkan Bung Hatta pada pertengahan tahun 1950-an perihal agenda diplomasi Irian Barat. Ia mengingatkan ke seluruh rakyat Indonesia, khususnya para elite partai politik. Kata Bung Hatta, "whatever might be differences of internal politics, the Irian issues was not among them"(Bone,1958).

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News