Beralih ke Energi Listrik, Harus Dipastikan Ketersediaan dan Keterjangkauan

Beralih ke Energi Listrik, Harus Dipastikan Ketersediaan dan Keterjangkauan
Ilustrasi motor listrik sespan Ural. Foto: Ural Motorcycle

Sementara pembangkit listrik yang ada saat ini adalah PLTU yang lebih sedikit menggunakan batu bara dan sangat minim emisi yang diakibatkan.

Namun kalau ditinjau dari segi harga, apakah listrik lebih murah dengan harga yang ada sekarang, ia tidak bisa menjawab secara pasti. Lima tahun lalu ia melakukan riset memasak satu objek yang sama dengan gas dan listrik, memang lebih murah memakai listrik. Sekarang harga listrik sudah berbeda.

“Jika pemerintah memutuskan menaikkan atau menurunkan harga migas, bisa jadi harganya lebih mahal atau murah perbandingannya, antara memasak menggunakan bahan bakar migas atau listrik. Jadi penetapan harga itu relatif sifatnya,” papar anggota Panitia Akreditasi Ketenagalistrikan, Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM ini.

Menurut pemerhati ekonomi makro dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, saat ini cadangan migas Indonesia tinggal tersisa 3,2 miliar barrel. Sedangkan di tahun 1980 masih mencapai 11,6 miliar barrel.

Akibat dahaga mengkonsumsi minyak bumi, saat ini status Indonesia sebagai netto eksportir minyak bumi, sudah berbalik menjadi negara netto importir minyak bumi. Karena itu minyak yang harganya relatif lebih mahal masih dibeli, sedangkan gas yang relatif harganya murah, sebagian besar juga diekspor.

Adapun cadangan gas Indonesia juga tidak tergolong melimpah, hanya 102,9 TCF atau mencapai 1,4 persen dari cadangan dunia. Mengutip data dari BP Statistical Review of World Energy, maka menurut Faisal yang saat ini menjadi Advisory Board pada Indonesia Research and Strategic Analysis (IRSA), perlu mengubah paradigma dari energi sebagai komoditi, menjadikan energi sebagai tulang punggung perekonomian, pembangunan nasional dan daerah.

Iwa yang juga Ketua Electrical Power and Energy Studies (EPES) UI dan Kepala Laboratorium Sistem Tenaga Listrik Departemen Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, ini mengatakan, langkah apa yang harus ditempuh PLN dan pemerintah untuk mengkonversi pola konsumsi energi konsumen/masyarakat dari bahan migas ke energi listrik, maka terlebih dahulu, sistem PLN harus disiapkan untuk mendukung peralihan tersebut.

“Seandainya kondisi existing rumah di satu komplek rata-rata 1.300 watt. Maka kalau beralih ke kompor listrik yang 1000 watt, bisa jadi ketersediaan listrik di rumahnya berkurang, apalagi saat terjadi beban puncak.

Pengalihan pola konsumsi energi masyarakat ke listrik harus disertai jaminan ketersediaan dan keterjangkauan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News