Beras Bansos
Oleh: Dahlan Iskan
Meiling adalah orang Harbin. Kawin dengan lelaki Singapura –ikut warga negara suaminyi. Kini lebih sering Meiling yang ke Indonesia.
Begitu cepat wabah ''nasi Harbin'' menjalar ke seluruh Tiongkok. Begitu cepat selera orang di sana berubah –mengikuti kemajuan ekonomi mereka. Begitu mudah mereka melupakan rasa nasi lama.
Meski sering makan nasi ala Harbin, saya tidak sampai melupakan rasa nasi lama.
Saya tidak mengharuskan istri membeli beras kelas itu. Terima kasih lidah. Anda begitu fleksibel. Dapat nasi Harbin. Alhamdulillah. Pun ketika dapat nasi dapur istri saya.
Fleksibilitas lidah itu bersumber dari ekspektasi. Dugaan saya: lidah bisa fleksibel karena tidak pernah punya ekspektasi bisa selalu makan nasi Harbin.
Ekspektasi kebanyakan orang cukuplah: beras ada. Tidak harus ngetan dan wangi. Cukup enak, cukup –untuk lidah fleksibel. Berharap juga harga pun terjangkau.
Tahap "ada beras" dan "beras cukup" pernah tercapai. Yakni di zaman mertua presiden terpilih sekarang jadi presiden.
Setelah itu seharusnya kita naik kelas: dari "ada" dan "cukup" ke rasa yang lebih enak.
Setiap presiden takut inflasi. Begitu muncul ramalan bahwa stok beras menipis keputusannya cepat: impor beras! Kalau tidak, akan inflasi.
- Seragam Baru
- Mendag Zulhas Sebut Oil Tanker yang Dibeli dari China Ini Tak Layak, Bakal Dikembalikan
- Begini Efek Bansos terhadap Pertumbuhan Ekonomi
- Kemensos Luncurkan Aplikasi Cek Bansos untuk Pastikan Bantuan Tepat Sasaran
- Catatan Ketua MPR: Tetaplah Berhati-hati dan Bijaksana Mengelola Pertumbuhan Ekonomi
- Timah Kolektor