Berontak dari Tradisi, Sekolah hingga Luar Negeri

Berontak dari Tradisi, Sekolah hingga Luar Negeri
Abdul Manan. Foto: Guslan Gumilang/Jawa Pos

Setiap hari anak-anak Bajo berlatih menyelam di depan rumah mereka. Sebuah kayu besar sengaja dipasang di dasar laut sebagai tempat berpegangan.

Warga Bajo mengandalkan hidup sebagai nelayan. Mereka memiliki kearifan lokal, yakni memilih ikan yang usianya sudah matang untuk dikonsumsi.

Mereka tidak mau menangkap ikan yang masih kecil. Mereka tahu persis musim bertelur masing-masing jenis ikan sehingga ikan yang bertelur tidak akan diambil.

Untuk mencari ikan, warga Bajo membawa sampan ke tengah laut, kemudian menyelam tanpa alat bantu pernapasan. Mereka hanya mengenakan kacamata yang frame-nya terbuat dari kayu. Ikan-ikan ditangkap dengan bantuan alat sejenis panah.

Di Wakatobi, suku Bajo juga menjaga segi tiga karang dunia yang sangat terkenal sebagai surga para diver. ’’Kami punya moto di lao denakangku (Lautan adalah saudaraku),’’ tegas Manan.

Perkampungan Bajo di Wakatobi tersebar di lima lokasi. Yakni, Mola, Pulau Wangi-Wangi; Mantigola dan Lohia di Pulau Kaledupa; Lamanggu di Pulau Tomia; dan Sama Bahari di Sampela.

Wakatobi merupakan kependekan empat pulau besar di sana, yakni Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko.

Dengan datang langsung ke Wakatobi, eksotisme suku Bajo terlihat lebih indah dari yang digambarkan film The Mirror Never Lies yang dibintangi Atiqah Hasiholan dan Reza Rahadian. (*/c5/ari)


SUKU Bajo kini tersebar di 21 provinsi di Indonesia. Jumlahnya puluhan ribu orang. Menariknya, pemimpin suku yang rumahnya di atas laut itu adalah


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News