Besarkan Pabrik Dulu, Baru Dirikan Museum

Besarkan Pabrik Dulu, Baru Dirikan Museum
Foto: Ist/Jawa Pos

Diana juga mulai memahami selera dan karakter pasar. Dia mencontohkan, selera pasar di Surabaya berbeda dengan di Jawa Tengah atau Jawa Barat. Konsumen Surabaya lebih menyenangi batik-batik dengan corak dan warna yang mencolok. Sedangkan konsumen Jawa Tengah atau Jawa Barat lebih menyukai batik dengan warna alam.

”Bapak pernah membuat satu kemeja dengan tiga warna ngejreng: hijau, merah, dan kuning. Yang seperti ini tidak laku di kota lain, tapi langsung habis di Surabaya,” terangnya.

Jadi, kadang batik berwarna menyala yang tidak laku di daerah lain dibawa ke Surabaya. Begitu pula sebaliknya. Sekarang usaha yang dirintis Santosa Doellah mulai 1967 itu telah berkembang pesat dengan seribu karyawan di Solo.

Belum termasuk karyawan yang menyebar di 24 butik di sepuluh kota di Indonesia. Produk mereka juga banyak diminati di sejumlah negara Eropa, Amerika, dan Australia.

Namun, bentuknya masih berwujud kain, belum dalam bentuk baju dengan variasi modelnya. Sebab, negara-negara pengimpor mensyaratkan, kalau dalam bentuk baju, modelnya harus bisa dipakai untuk empat musim: semi, panas, gugur, dan dingin. Padahal, selama ini Diana baru bisa memenuhi pesanan untuk kebutuhan dua musim di Indonesia.

”Selama ini yang banyak dipesan batik cap dan printing. Mungkin karena dua jenis itu lebih terjangkau. Sedangkan untuk batik tulis, segmennya tersendiri. Harganya memang lebih mahal,” paparnya. (*/c9/ari)


AROMA bunga setaman menguar begitu memasuki Museum Batik, Jalan Brigjen Slamet Riyadi, Solo. Aroma itu berasal dari mangkuk-mangkuk kecil berisi


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News