Blusukan Hutan untuk Abadikan Capung Langka

Blusukan Hutan untuk Abadikan Capung Langka
Blusukan Hutan untuk Abadikan Capung Langka

BERANGKAT dari hobi fotografi dan latar belakang ilmu sejarah, Wahyu Sigit Rhd. sukses mengabadikan puluhan jenis capung khas Indonesia. Selain untuk kepentingan pelestarian lingkungan, pengarsipan membuka gerbang minimnya literatur capung di tanah air.
-------------
HENNY GALLA, Banyuwangi
-------------
Obrolan cangkrukan tentang capung malam itu berawal dari aroma sebungkus kopi. Wangi bubuknya bisa dihirup dari dua titik lubang kecil di bagian bawah plastik kemasannya yang menggugah selera penikmat kopi.
 
Setiawan Subekti, si pemilik kopi, menjelaskan bahwa kopi tersebut berasal dari perkebunan kopi Banyuwangi yang alamnya masih alami. Hal itu terlihat dari bagian luar bungkusnya yang sederhana dan berwarna cokelat muda. Di atasnya tertempel kertas persegi bertulisan merek dagang dan bergambar capung.
 
"Capung hanya bisa hidup di lingkungan yang bersih," ungkap Setiawan kepada Jawa Pos saat ditemui di Sanggar Genjah Arum, Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, Jawa Timur, awal bulan lalu (2/1).
 
Sebagai penikmat kopi dari hasil alam yang bersih, pria yang dijuluki tester kopi kelas dunia dari Banyuwangi tersebut juga dikenal sebagai pencinta capung. Kecintaan pada capung itu kemudian membawa dirinya berteman baik dengan Wahyu Sigit Rhd., pendiri Indonesia Dragonfly Society (IDS) atau organisasi pelestari capung di Indonesia.
 
Suasana sanggar milik Setiawan yang terdiri atas gubuk-gubuk tersebut makin eksotis saat alunan angklung dan tetabuhan lesung (alat tradisional penumbuk padi) menyatu dengan rintik gerimis. Di atas kursi anyaman rotan, Sigit "sapaan Wahyu Sigit" ikut nimbrung dalam obrolan malam itu.
 
Dia mengisahkan, tempo dulu halaman rumah warga di kampung banyak dihiasi capung yang beterbangan dan hinggap di tanaman. Namun, perkembangan zaman membuat capung atau sibar-sibar itu kini susah ditemui.

Padahal, kata Sigit, binatang yang tergolong dalam bangsa Odonata tersebut bisa menjadi alat bantu indikator yang dapat digunakan secara masal untuk membaca persoalan perairan atau cuaca di sebuah kawasan. "Saat capung bertelur dan menetas menjadi nimfa di perairan, nimfa akan sangat sensitif pada polutan," jelasnya.
 
Keuntungan lainnya, jika nimfa bertahan hidup dan tumbuh menjadi capung kembali, ia akan dapat memainkan fungsi yang baik di bidang pertanian. Sebab, capung bisa menjadi predator yang efektif terhadap serangga-serangga yang bersifat hama. Apalagi biodiversitas keragaman capung di Indonesia luar biasa kaya. Sebab, ia dapat hidup pada iklim tropis, yakni musim kemarau dan penghujan.

 "Tapi, peran itu jarang diketahui masyarakat karena minimnya informasi. Ahli capung di Indonesia juga belum ada. Berbeda dengan Eropa, Amerika, Jepang, dan India yang sangat maju studinya tentang capung," ungkapnya.
 
Terpantik kurangnya literasi mengenai capung, Sigit menggagas berdirinya IDS yang merupakan lembaga nonprofit untuk berkonsentrasi dan berbicara persoalan lingkungan yang lebih luas.
 
Mulanya dia tidak berpikir untuk menjadikan capung sebagai fokus. Sebab, sebelumnya Sigit lebih aktif di Indonesia Wildlife Photography atau organisasi fotografi alam liar.
 
"Ternyata motret capung itu susah. Karena itu, harus belajar lebih dulu tentang kebiasaan hingga ruang hidup capung seperti apa," tutur pria kelahiran Temanggung, 3 Agustus 1968, tersebut.
 
Nah, saat itulah dia mengakui referensi tentang capung di Indonesia cukup sulit ditemukan. Karena itu, Sigit berusaha mencari sendiri informasi tersebut sekaligus mendiskusikannya dengan para akademisi di kampus. Tidak hanya itu, dia juga berupaya mengontak lembaga dan ahli capung dari luar negeri.
 
Setelah mendapat referensi awal nama-nama spesies dari ahli asing, aneka gambar capung hasil jepretan Sigit dan delapan kawannya diunggah ke media sosial. Dari situlah diskusi berkembang. Ketika respons publik terus meningkat, pada 2009 IDS resmi didirikan dan berpusat di Malang, Jawa Timur, dengan konsentrasi utama pelestarian capung.
 
"Kami mendata dan meneliti capung lewat hasil fotografi. Lantas, menindaklanjuti dengan edukasi dan kampanye," terangnya.
 
Bila awalnya IDS hanya beranggota sembilan orang, kini komunitas itu berhasil menumbuhkan jaringan aktivis pelestari capung di berbagai daerah. Banyak pula penggiat capung yang berlatar belakang ilmu biologi dan pertanian serta sosial budaya dari berbagai perguruan tinggi.
 
Setelah lebih dari tiga tahun IDS didirikan, penelitian serta pendataan capung semakin intens. Tapi, tentu saja pendataan itu tidak semudah yang dibayangkan. Sebab, Sigit dan para aktivis IDS harus keluar masuk hutan untuk berburu capung-capung tersebut. Tidak lagi bisa diperoleh di halaman-halaman rumah penduduk.
 
Bahkan, perburuan itu tidak hanya dilakukan saat siang. Terkadang Sigit harus "blusukan" ke hutan pada malam. "Kadang sendiri, kadang bersama teman. Paling penting safety," ujarnya.
 
Tanpa menyebut jumlah dana yang harus disiapkan untuk hunting itu, dia mengaku sudah berusaha mendata capung hampir di seluruh Jawa. Antara lain, di Banyuwangi, Semarang, Malang, dan Jogja.
 
"Yang paling banyak memang saya temukan di Banyuwangi. Dari empat lokasi yang saya masuki, sudah ada 52 jenis. Ada juga beberapa capung endemis," paparnya.
 
Beberapa lokasi di Banyuwang itu, antara lain, daerah Kalibendo, Sungai Kalongan, Genteng, serta pesisir pantai. "Itu belum termasuk Alas Purwo," ujarnya.
 
Yang menarik dari temuan Sigit di Banyuwangi adalah capung jenis Amphiaeschna ampla. Yakni, jenis capung yang belum pernah diperbarui datanya sejak dipublikasikan ilmiah oleh ahli capung Belanda pada 1950-an.

 "Menemukan capung yang belum ter-update datanya paling menggembirakan. Saya langsung foto detailnya," tegas alumnus Ilmu Sejarah Universitas Sanata Dharma, Jogjakarta, itu.
 
Lewat media visual fotografi, hingga kini Sigit telah mengumpulkan sekitar 78 jenis capung dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Dia tergugah untuk mencari jenis capung bergenus Depranosticta yang diperkirakan punah di Jawa Timur.
 
"Konon ada di pegunungan Tengger dan diperkirakan akan punah. Mudah-mudahan saya bisa menemukan yang langka itu," katanya lantas tersenyum.
 
Menurut Sigit, jumlah puluhan capung itu jauh dari data serangga tersebut yang sesungguhnya di Indonesia. Sebab, menurut catatan yang disimpan di perpustakaan Leiden, Belanda, setidaknya ada 900 jenis capung Indonesia. Data tersebut belum diperbarui saat ini.
 
"Mestinya (jumlahnya) semakin sedikit karena perubahan lingkungan yang luar biasa. Dimungkinkan banyak spesies yang menghilang dan punah. Tapi, tetap perlu dikroscek," tutur penulis buku keragaman capung Naga Terbang Wendit itu.
 
Apalagi saat ini capung menjadi isu lingkungan sebagai pembaca perubahan iklim. Sebab, berdasar riset, diketahui capung-capung yang sebelumnya berada di dataran Skotlandia kini bergeser ke Inggris. Hal itu terjadi karena industri Skotlandia tengah tumbuh luar biasa sehingga menggusur habitat capung-capung.
 
"Karena itu, saat IDS ikut kongres di Jepang pada 2012 dan Jerman tahun lalu, dunia internasional menyambut senang. Sebab, capung Indonesia jadi pengetahuan baru bagi mereka," ungkapnya.
 
Pada 2014, kata Sigit, IDS bakal fokus untuk meneliti dengan menggunakan dragonfly biotic index tentang perubahan lingkungan di Banyuwangi. "Metode baru ini sudah dijalankan di Afrika Selatan dan Argentina," tegasnya. (*/c5/ari)


BERANGKAT dari hobi fotografi dan latar belakang ilmu sejarah, Wahyu Sigit Rhd. sukses mengabadikan puluhan jenis capung khas Indonesia. Selain untuk


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News