Bunuh Potensi Daerah
Dana Bagi Hasil Tidak Adil, Rakyat Miskin
Jumat, 13 Januari 2012 – 07:24 WIB

Bunuh Potensi Daerah
JAKARTA-Alokasi dana bagi hasil (DBH) minyak dan gas (migas) antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang tak seimbang membuat daerah sulit berkembang. Bahkan, dengan prosentase bagi hasil 70 persen untuk Pemerintah Pusat dan 30 persen Pemda, justru membunuh potensi daerah secara perlahan. Uji materi UU tersebut diajukan sejumlah warga Kalimantan Timur yang tergabung dalam Majelis Rakyat Kalimantan Bersatu (MRKTB). Di antaranya, Sundy Ingan (kepala desa Sungai Bawang), Andu (petani dari Desa Badak Baru), Luther Kombong (anggota DPD RI), H Awang Ferdian Hidayat (anggota DPD), Muslihuddin Abdurrasyid (anggota DPD), dan Bambang Susilo (anggota DPD).
Demikian diungkapkan saksi fakta pemohon uji materi Undang-Undang (UU) No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Sumardi Taher, dalam sidang uji materi UU itu di Mahkamah Konstitusi (MK), kemarin (12/1).
Baca Juga:
Ia mencontohkan, Provinsi Riau sebagai daerah penghasil minyak bumi terbesar di Indonesia, ada sekitar 11 miliar barel minyak bumi yang dihasilkan, ternyata masyarakat daerah tersebut tidak bisa menikmati hasil kekayaan. ’’Sampai sekarang justru masyarakat Riau kekurangan gizi dan belum mendapat pelayanan kesehatan yang layak,’’ beber Sumardi saat memberikan keterangan dalam sidang yang diketuai Mahfud MD itu.
Baca Juga:
JAKARTA-Alokasi dana bagi hasil (DBH) minyak dan gas (migas) antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang tak seimbang membuat daerah sulit
BERITA TERKAIT
- World Safety Day 2025: IWIP Perkuat Budaya K3 di Lingkungan Kerja
- Manfaatkan Fasilitas SKA, Beragam Produk Asal Majalengka Tembus Pasar Mancanegara
- Lippo Karawang Siapkan Hunian dan Komersial Terbaru, Cek di Sini Harganya
- Peluncuran COCOBOOST di Ajang Mizone Active Zone Seru
- Investasi di Bidang SDM Bikin Bank Mandiri Raih Predikat Champion of the Year dan 12 Penghargaan Bergengsi
- Bea Cukai Gagalkan Distribusi Rokok Ilegal Senilai Hampir Rp 2 Miliar, Ini Kronologinya