Catat Cerita Para Eksil yang Ingin Mati di Tanah Kelahiran
Ari Junaedi, Raih Doktor berkat Teliti Pelarian Politik Tragedi 1965
Sabtu, 07 Agustus 2010 – 08:08 WIB
Mengapa mau mengeluarkan uang sebanyak itu dan apakah tidak takut ikut distigma prokomunis" "Saya ini anak tentara yang klir dari tragedi 1965. Saya sendiri lahir pasca-1965. Saya hanya gelisah bangsa kita tidak pernah menyelesaikan pekerjaan rumah. Mulai 1965, 27 Juli (Kudatuli, Red), maupun pelanggaran HAM 1998. Kalau kita terbiasa menumpuk masalah, bangsa ini tidak akan pernah maju," tegas Ari dengan ekspresi wajah yang sangat serius.
Berdasar penelitiannya, hingga kini tersebar lebih dari 1.500 eksil di berbagai negara. Ari berharap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mau menuntaskan status politik para eksil tragedi 1965 yang selama ini distigma pembangkang atau dissident dan dihapus kewarganegaraannya tersebut.
Dengan niat tulus semangat rekonsiliasi dan kemanusiaan, dia menyarankan agar pemerintah menghapus stigma komunis dan memberikan kemudahan pengurusan kewarganegaraan baru bagi para eksil tragedi 1965 bersama keluarganya. "Kita telanjur membuang sebuah generasi terdidik karena kebijakan pemerintah masa lalu," sesal Ari. (*/c5/ari)
Para pelarian politik (eksil) tragedi G 30 S PKI 1965 menarik untuk diteliti. Itulah yang dilakukan Ari Junaedi, dosen FISIP UI, untuk meraih gelar
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
BERITA TERKAIT
- Ninis Kesuma Adriani, Srikandi BUMN Inspiratif di Balik Ketahanan Pangan Nasional
- Dulu Penerjemah Bahasa, kini Jadi Pengusaha Berkat PTFI
- Mengintip Pasar Apung di KCBN Muaro Jambi, Perempuan Pelaku Utama, Mayoritas Sarjana
- Tony Wenas, Antara Misi di Freeport dan Jiwa Rock
- Hujan & Petir Tak Patahkan Semangat Polri Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Wilayah Terluar Dumai
- Tentang Nusakambangan, Pulau yang Diusulkan Ganjar Jadi Pembuangan Koruptor