Cegah Anak Jadi Bos Kecil di Rumah

Rawan Ototiter sampai Dewasa

Cegah Anak Jadi Bos Kecil di Rumah
Ilustrasi. FOTO: getty images

jpnn.com - Ambilin sepatuku! Aku mau mainan itu sekarang! Bagi sebagian orang tua, seruan itu terdengar risi. Bagaimana agar anak tidak bossy, tapi justru belajar mandiri?

---

ANAK selalu ingin semua permintaannya dipenuhi, mungkin sudah wajar. Meski demikian, tentu ada batas normalnya. Dapat dikatakan wajar jika permintaan tersebut memang merupakan sesuatu yang tidak bisa dilakukan anak sendiri. Namun, jika berlebihan atau dikatakan sindrom bos atau raja dan ratu, orang tua harus mencegah sebelum telanjur dan berdampak buruk bagi perkembangan anak selanjutnya.

Dr Yunias Setiawati SpKJ menjelaskan, menurut teori perkembangan Sigmund Freud, anak usia 3-6 tahun termasuk kategori fase falik. Pada fase itu, sifat superego mulai berkembang. Anak sudah bisa menyerap perkataan orang lain. Mereka juga mampu membedakan baik dan buruk.

Pada masa tersebut, orang tua diharapkan bisa menerapkan disiplin secara tegas, jelas, serta bijaksana. Artinya, mereka mengerti kebutuhan anak dan konsisten. ''Pada dasarnya, peran orang tua adalah pembimbing dan pengontrol perilaku anak. Membimbing tidak berarti selalu melayani semua keperluan anak. Misalnya, memandikan dan menyuapi. Tapi, anak harus diajari mandiri,'' kata spesialis kejiwaan dari RSUD dr Soetomo Surabaya tersebut.

Sebaliknya, jika orang tua abai pada perkembangan anak, sangat berpeluang muncul sindrom bos di rumah. Beberapa gejalanya, anak menjadi raja kecil, sering menuntut, dan selalu merasa benar. ''Bila tidak diatasi dengan baik, akan berkelanjutan sampai masa remaja dan dewasa,'' tegas dokter kelahiran Tulungagung itu. Sindrom tersebut dipengaruhi pola asuh orang tua dan lingkungan.

Dampak buruknya, mereka bisa berperilaku otoriter, suka mencela, serta mengkritik. Tak heran bila kemudian timbul hambatan di sekolah, pekerjaan, bahkan dalam membina rumah tangga.

Kalaupun telanjur bossy, hal itu masih mungkin diatasi. Meski demikian, anak tetap tidak boleh dihukum. Apalagi dengan kekerasan fisik, emosional, makian, atau teriakan. Orang tua bisa memberikan terapi modifikasi perilaku berupa reward dan punishment. ''Memberikan hadiah saat berperilaku baik dan memberikan hukuman saat berperilaku buruk,'' terangnya.

Cara lain, menurut psikiater yang juga berpraktik di Siloam Hospitals Surabaya itu, adalah menggunakan sistem token ekonomi. Yaitu, sistem scoring atau poin. Tujuannya, meningkatkan perilaku yang diinginkan dan mengurangi perilaku yang tidak diinginkan. (bri/c5/nda) 

 


Ambilin sepatuku! Aku mau mainan itu sekarang! Bagi sebagian orang tua, seruan itu terdengar risi. Bagaimana agar anak tidak bossy, tapi justru belajar


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News