CEO Message ke-6: Menpar Arief Yahya Mengupas soal Spirit Ikhsan

CEO Message ke-6: Menpar Arief Yahya Mengupas soal Spirit Ikhsan
Arief Yahya. Foto: dok/JPNN.com

Dari sisi nilai-nilai dan perilaku misalnya, saya menuntut setiap insan Kemenpar untuk memiliki standar integritas tertinggi, standar kejujuran tertinggi, atau standar daya juang dan keuletan tertinggi, nggak gampang loyo dan menyerah. Dari sisi kapabilitas dan kompetensi, saya menuntut ekspertis terbaik, yang dapat dibentuk dengan cara membangun (“build”), kalau tidak bisa dicukupi dari dalam terpaksa sementara harus meminjam (“borrow”) atau membeli (“buy”) ekspertis dari luar. Sementara dari sisi hasil, saya menuntut capaian-capaian terbaik: nomor 1, nomor 2, atau mentok nomor 3.  

Itu artinya kita harus membentuk dan menempa dirinya mencapai kualitas personal tertinggi (highest personal quality). Kalau keyakinan dasar ini sudah dimiliki, maka pada gilirannya kita akan menjadi pribadi yang selalu high demanding, high achiever, dan memiliki sense of perfection. Kita akan menuntut standar tertinggi tersebut tanpa pandang bulu dan tanpa pernah berkompromi.

Pemimpin yang hebat adalah pemimpin yang “kejam” terhadap dirinya maupun anak buah, kalau sudah menyangkut standar kinerja. Ia tetapkan standar kinerja yang sangat tinggi. Kemudian ia paksa dan lecut dirinya dan anak buahnya untuk mencapai standar tinggi tersebut. Begitu standar tersebut bisa dicapai, maka ia naikkan lagi standar itu lebih tinggi lagi agar potensi dirinya dan anak buahnya keluar. Demikian setrusnya hingga akhirnya ia mampu mencapai hasil kerja tertinggi.

Dengan me-leverage diri secara terus-menerus, pada akhirnya ia dan anak buahnya akan menjadi pribadi-pribadi yang hebat (great), bukan cuma baik (good). Ingat, baik saja tidak cukup, kita harus menjadi orang hebat.

Never-Ending Journey
Upaya untuk mencapai yang terbaik (excellence) adalah sebuah perjalanan yang tak pernah mencapai titik akhir (a never-ending journey). Secara sederhana, saya sering mengistilahkannya dengan “menciptakan bukit kemenangan satu ke bukit kemenangan berikutnya”.

Karena itu menjadi yang terbaik juga harus disikapi secara dinamis sebagai sebuah sikap mental untuk tidak mudah berpuas diri terhadap setiap hasil kerja yang dicapai. Sikap mental inilah yang memungkinkan perusahaan selalu memiliki sense of urgency dan tak mudah terjebak dalam zona kenyamanan (comfort zone) dalam mencapai prestasi terbaik.

Tuntutan akan standar kinerja tertinggi merupakan mekanisme untuk memberikan tantangan (challenges) dan dorongan (drives) agar kita tidak terjebak dalam zona kenyamanan (comfort zone). Standar tertinggi sekaligus memberikan leverage effect, yaitu dorongan agar kita bekerja di atas kemampuan normal yang dimiliki. Kalau secara normal kita mampu mengerjakan pekerjaan 100%, maka dengan leverage (pengaruh) ini kita berupaya keras untuk mencapai 125% atau bahkan 150%.

Berbicara mengenai sikap mental menjadi yang terbaik, saya menjadi teringat mantan CEO legendaris GE, Jack Welch. Pada suatu kesempatan, Jack Welch ditanya oleh anak buahnya tentang mengapa GE harus selalu menjadi nomor satu. Jack Welch menjawabnya begini, “Kalau kita nomor satu dan nomor dua, pada saat kondisi sulit, kita akan bisa tetap sustain. Namun bila kita berada di nomor 4, 5 atau 6, maka di masa sulit kita tidak bisa sustain.”

JAKARTA – Edisi ke-6 CEO Message yang dikeluarkan Menteri Pariwisata Arief Yahya diwarnai pesan religius. Seperti biasa, pesan-pesan moral

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News