Cerita WNI Memulung di Australia

Cerita WNI Memulung di Australia
Tempat sampah berkapasitas 660 liter produksi perusahaan Jerman, Weber. Foto: www.w-weber.com

Berkali-kali memulung di banyak tempat membuat saya jadi paham perbedaan kualitas barang di setiap lokasi. Di daerah yang banyak kos maha­siswa atau pendatang, biasanya kualitas barang yang dibuang sudah parah. Bisa jadi karena dulu juga mendapat barang itu dari memulung.

Di lokasi yang stratanya lebih tinggi, barang buangan bisa lebih bagus. Mungkin karena mereka ingin ganti perabot. Pasti jadi rebutan.

Selama memulung, kami harus tetap beretika. Misalnya saja, tidak boleh asal mengobrak-abrik tumpukan barang. Pilih dan letakkan kembali dengan rapi. Tidak sampai malah mengotori halaman pemilik rumah.

Saya pernah mengambil sepeda kecil yang masih bagus. Lumayan buat anak saya. Saat itu pemilik rumah juga ada di luar. Saya bertanya lagi, memastikan bahwa sepeda tersebut memang dibuang. Dia meyakinkan saya. Setelah berbasa-basi dan berterima kasih, saya masukkan ke mobil.

Tiba-tiba, dari dalam rumah, keluar seorang anak kecil. Dia berteriak sambal menangis kencang, "That is my bike". Sambil menangis sesenggukan, dia meminta kembali sepedanya.

Saya jadi serbasalah. Ibunya terlihat merasa bersalah, kepada saya maupun ke anaknya. Karena kasihan, saya kembalikan sepeda itu. Si ibu berterima kasih sambal berbisik meminta saya kembali sore harinya untuk mengambil sepeda itu. Saya menyanggupi.

Namun, saya tidak pernah da­tang lagi. Iya kalau anaknya sudah ikhlas. Kalau belum, kan kasihan. Itu sudah untung ada ibunya di luar. Kalau si ibu tidak ada, bisa jadi saya ditangkap karena di­sangka maling sepeda. (*)


Ini cerita SATRYA WIBAWA, staf pengajar Departemen Komunikasi FISIP Universitas Airlangga Surabaya, mahasiswa doktoral di Curtin University, Perth, Western Australia.


Redaktur & Reporter : Adil

Sumber Jawa Pos

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News