China dan Reklamasi yang Bikin Runyam Situasi di LCS

Oleh: Mohammad Anthoni, wartawan senior LKBN Antara (1990-2019)

China dan Reklamasi yang Bikin Runyam Situasi di LCS
Peta wilayah Laut China Selatan (LCS). Ilustrasi: The Economist

jpnn.com - Situasi Laut China Selatan (LCS) lima tahun setelah putusan Pengadilan Arbitrase Permanen PBB (Permanent Court of Arbitration/PCA) di Den Haag, Belanda, belum menunjukkan tanda-tanda ke arah para pihak yang berselisih menemukan jalan keluar.

Sebaliknya, kerumitan akibat perubahan status quo telah menghadang di depan. Kerumitan itu terjadi setelah kegiatan-kegiatan China untuk mendukung klaim “sembilan-garis putus” yang ekspansif telah secara fundamental mengubah status quo di kawasan ini.

China sebagai salah satu pihak yang mengklaim (claimants) masih melakukan berbagai aktivitas, terutama militerisasi kepulauan buatan --yang dituding Vietnam sebagai aksi menduduki wilayahnya di kepulauan Spratly secara ilegal. Pihak-pihak lain yang turut mengeklaim sebagian wilayah LCS adalah Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam, dan Taiwan.

Para pengamat mengatakan peningkatan aktivitas dan kehadiran militer China di LCS berpotensi mengancam stabilitas, kebebasan maritim internasional, dan keamanan kawasan.

Setelah proses tiga tahun pengajuan kasus oleh Filipina, PCA pada 12 Juli 2016 memutuskan mengabulkan gugatan Filipina atas wilayah di Laut China Selatan yang diklaim negara itu dan tidak mengakui sembilan garis putus-putus, atau dikenal juga sebagai garis-garis berbentuk U dari China.

Dalam amar putusan setebal 497 halaman, Mahkamah menyatakan klaim China tersebut tidak memiliki dasar hukum, dan menolak hak sejarah China di LCS.

Keputusan itu juga menjelaskan bahwa pulau buatan China di atas terumbu karang di kawasan itu tidak dapat dianggap sebagai zona ekonomi eksklusif (EEZ) 200 mil dan wilayah perairan 12 mil karena ketakmampuan menyangga kehidupan manusia di pulau buatan dan tak memenuhi syarat-syarat sebagai EEZ maupun landas kontinen sesuai dengan hukum internasional.

Selain itu, putusan Mahkamah juga menekankan bahwa kekuatan patroli China bisa berbahaya bila ditabrak kapal nelayan. Pembangunan dan pengoperasian China menyebabkan kerusakan yang tidak dapat dipulihkan pada terumbu karang di LCS.

Situasi Laut China Selatan (LCS) belum menunjukkan tanda-tanda ke arah para pihak yang berselisih menemukan jalan keluar

Sumber Antara

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News