DDTC Fiscal Research Luncurkan Kondisi Pajak Indonesia di 2019, Ini Hasilnya

 DDTC Fiscal Research Luncurkan Kondisi Pajak Indonesia di 2019, Ini Hasilnya
Indonesia Taxation Quarterly Report (Q1-2019) bertajuk ‘Tax and Digital Economy: Threats and Opportunities’. Foto : IST

Pada periode yang bersamaan, Uni Eropa meluncurkan Anti-Tax Avoidance Directive (ATAD), sedangkan International Monetary Fund (IMF) menerbitkan Policy Paper tentang berbagai alternatif sistem pajak internasional yang bertujuan untuk mengurangi kompetisi pajak, penghindaran pajak, dan menyiratkan keberpihakan bagi negara-negara berkembang.

Pajak dan Ekonomi Digital

Perkembangan ekonomi digital telah menciptakan adanya kerumitan pemajakannya. Pada dasarnya, ekonomi digital adalah proses digitalisasi dari ekonomi nyata. Oleh karena itu, pemajakan atas ekonomi digital seharusnya tidak memerlukan perlakuan secara khusus atau dipisahkan dari ekonomi nyata. Hal ini guna menjamin level playing field dari aktivitas ekonomi yang dilakukan baik secara konvensional maupun digital. Pada umumnya hanya diperlukan suatu terobosan administrasi untuk menjamin kepatuhan dari pelaku yang berada dalam ekosistem ekonomi digital.

Walau demikian, digitalisasi juga telah meningkatkan risiko base erosion and profit shifting (BEPS) terutama dari raksasa ekonomi digital yang bisa memperoleh penghasilan dari suatu yurisdiksi tanpa membayar pajak secara adil kepada yurisdiksi tersebut. Secara singkat, setidaknya terdapat 4 tantangan dalam memajaki ekonomi digital dan yang berkaitan dengan BEPS.

Pertama, kita menghadapi kesulitan teknis dalam mendesain kebijakan yang mampu memberikan alokasi hak dan pembayaran pajak yang adil dari ekonomi digital. Utamanya adalah mengubah sistem pajak internasional yang berbasis pada kehadiran fisik dalam mengategorikan BUT dan pengalokasian laba yang mempertimbangkan kontribusi pembentukan nilai dampak digitalisasi. Kedua, penyusunan aturan berkejaran dengan waktu karena sifat bisnis ekonomi digital sarat dengan perubahan yang cepat. Ketiga, banyaknya inisiatif aksi sepihak dari berbagai negara dalam memajaki ekonomi digital sesuai dengan kedaulatan fiskalnya. Berbagai aksi unilateral tersebut tentu membuat tantangan keempat, yaitu sulitnya mencapai konsensus di tingkat global.

Saat ini, opsi untuk memajaki ekonomi digital sedang dibicarakan di tingkat internasional. Proposal yang diajukan oleh OECD tersebut berisi 2 pilar utama. Pilar pertama bertujuan untuk mengatur alokasi pemajakan secara lebih adil dengan memperluas hak pemajakan bagi yurisdiksi pasar melalui 3 alternatif pendekatan: user participation, marketing intangibles, dan sufficient economic presence. Pilar kedua fokus atas ketersediaan global anti-base erosion rule.

“Seluruh opsi tersebut pada dasarnya akan menguntungkan Indonesia sebagai yurisdiksi pasar yang memiliki banyak pengguna. Walau demikian, tiap opsi itu memiliki derajat keuntungan dan tingkat kesulitan implementasi yang berbeda-beda pula,” ujar B. Bawono Kristiaji, Partner DDTC Fiscal Research saat peluncuran Indonesia Taxation Quarterly Report (Q1-2019) bertajuk ‘Tax and Digital Economy: Threats and Opportunities’, Kamis (2/5/2019)

Di Indonesia, persoalan mengenai pemajakan ekonomi digital juga tecermin dalam PMK Nomor 210 Tahun 2018 yang dicabut akhir Maret lalu.

Fundamental ekonomi Indonesia masih cukup kuat memasuki 2019 yaitu tahun dengan ketidakpastian terkait dengan pemilu dan gejolak ekonomi global.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News