Desa Sigarang-Garang Tak Lagi Garang
"Padahal ladang itulah yang menjadi sumber penghasilanku selama ini termasuk untuk menyekolahkan semua anakku," urainya terisak.
Wanita yang memiliki lima anak tersebut telah mengungsi sejak September 2013 di kantor Klasis GBKP Kaban Jahe.
Di posko pengungsian, dirinya dan para pengungsi lainnya harus menjalani kehidupan dengan alakadarnya. Bahkan boleh dikatakan sangat berkekurangan.
Namun dirinya terpaksa mengungsi sendirian di sini karena dua anaknya masih menimba ilmu di Unika Medan sementara dua lainnya mengungsi ke Kota Brastagi dan satu lainnya telah menikah namun juga menjalani kehidupan dengan mengungsi ke tempat aman.
Kehidupannya di pengungsian juga dijalani dengan penuh kesulitan. Minimnya air bersih di posko pengungsian, membuat banyak pengungsi yang tidak bisa membersihkan dirinya dengan layak.
"Payah kali pun kami untuk mandi. Tak ada airnya," terangnya.
Air yang disediakan oleh dinas terkait hanya cukup untuk masak dan mandi dua hari sekali. Sungguh miris nasib para pengungsi yang berada di posko-posko pengungsian.
Sementara itu, dua alat berat milik pemerintah setempat turut diterjunkan dibantu personil TNI dari Kodim di bawah komando seorang perwira muda bernama Asep juga turut membantu membersihkan ruas jalan yang penuh dengan lumpur, hal tersebut terlihat di Desa Naman, kecamatan Namanteran hingga Desa Sigarang-Garang.
WAJAH Boru Karo (52), terus-terusan terlihat gusar manakala dirinya dalam perjalanan kembali ke rumahnya di Desa Sigarang-garang, Kabupaten Karo.
- Ninis Kesuma Adriani, Srikandi BUMN Inspiratif di Balik Ketahanan Pangan Nasional
- Dulu Penerjemah Bahasa, kini Jadi Pengusaha Berkat PTFI
- Mengintip Pasar Apung di KCBN Muaro Jambi, Perempuan Pelaku Utama, Mayoritas Sarjana
- Tony Wenas, Antara Misi di Freeport dan Jiwa Rock
- Hujan & Petir Tak Patahkan Semangat Polri Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Wilayah Terluar Dumai
- Tentang Nusakambangan, Pulau yang Diusulkan Ganjar Jadi Pembuangan Koruptor