Diaz Hendropriyono: Agama Pemersatu, Bukan Alat Politik

Diaz Hendropriyono: Agama Pemersatu, Bukan Alat Politik
Staf Khusus Presiden Diaz Hendropriyono. Foto: Ist for JPNN

jpnn.com, TANGERANG SELATAN - Staf Khusus Presiden Diaz Hendropriyono‎ ‎mengingatkan, di tengah situasi global yang sedang tak menentu, yang paling penting saat ini adalah menciptakan harmoni di negeri sendiri. Salah satunya yakni dengan meningkatkan nasionalisme.

‎‎Sayangnya, nasionalisme masyarakat Indonesia mulai menurun. Ini ditunjukkan dengan adanya berbagai peristiwa intoleransi. Sejumlah kejadian intoleransi mencoreng kehidupan bernegara seperti pembakaran gereja di Aceh Singkil, pembakaran vihara di Tanjung Balai, serta pembakaran musala di Tolikara.

‎"Saat ini nasionalisme sedang tergerus, ditunjukkan oleh berbagai survei. Menurut survei, ada empat persen penduduk Indonesia yang mendukung ISIS. Meski terlihat kecil tetapi jika dibandingkan dengan 250 juta penduduk Indonesia merupakan angka yang besar," ujar Diaz dalam Seminar Nasional Agama dan Kebudayaan bertema "Strategi Kebudayaan: Dialog Agama dan Kebudayaan untuk Indonesia Berkemajuan" yang digelar Komunitas Muda Nusantara‎ di UIN Jakarta, Ciputat, Tangerang Selatan, baru-baru ini.

Dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (9/12), Diaz menyampaikan, p‎erkembangan liberalisme juga meningkatnya individualisme, yang tidak sesuai dengan nilai Pancasila, yaitu gotong royong. Selain itu, ‎revolusi teknologi juga meningkatkan individualisme.

Diaz mengimbau, agama seharusnya dijadikan sebagai alat pemersatu, bukan sebagai alat politik. "Tugas ulama, pemuka agama untuk menyatakan ini. Agama yang beragam di Indonesia, harus menjadi berkah," tandasnya.

Sementara itu, aktifis milenial Danik Eka Rahmaningtyas mengatakan, kesadaran terhadap keragaman mesti ditingkatkan. Sejauh ini, dia menilai, banyak salah informasi di media sosial tentang isu-isu sensitif.

"Ke‎ragaman ada di mana-mana. Kesadaran terhadap keragaman di Indonesia harus diselesaikan dulu, baru ke global. ‎Konflik terjadi di mana-mana karena kesadaran akan keberagaman belum terbentuk. ‎Banyak misinformasi yang menjadi propaganda yang menumbuhkan kebencian di masyarakat. Hoax atau pemelintiran isu dapat menjadi pemicu konflik, masyarakat harus memiliki keinginan untuk menelusuri penghasut dan berita-berita tidak benar," imbaunya.

Presiden Asosiasi Mahasiswa Internasional UIN Jakarta Safee Peters menyatakan, k‎onflik muncul karena masyarakat menolak memahami budaya lain dalam sebuah sistem masyarakat yang beragam. ‎Konflik juga muncul karena masyarakat terkadang menganggap budayanya lebih baik dibanding budaya lainnya atau stereotipe.

Di tengah situasi global yang sedang tak menentu, yang paling penting saat ini adalah menciptakan harmoni di negeri sendiri

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News