Digoel

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Digoel
Menteri Sosial Tri Rismaharini. Foto: Ricardo/JPNN.com

"Percayalah aku tidak akan tinggal selama-lamanya, karena dunia berubah senantiasa,” kata Hatta sambil melangkah keluar sebagaimana ia ceritakan dalam "Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi" (Penerbit Kompas, 2011).

Hatta menceritakan detail pengasingan itu dalam trilogi otobiografi di buku kedua "Berjuang dan Dibuang".

Bukan sekali itu saja Hatta ditawar. Pada Juli 1935, bujukan untuk mengabdi kepada Belanda kembali datang dari Residen Haga dari Ambon. Haga mengunjungi Digoel dan memanggil Hatta dan Sjahrir dan dirayu supaya mau menyerah dengan iming-iming menaikkan jatah ransum makanan dan uang.

Hatta dengan tegas menolak. Sjahrir juga rupanya mendapat tawaran yang sama.

Tak seperti Hatta, dia terpaksa menerima tawaran itu. Kepada Hatta, Sjahrir mengaku bahwa dirinya mengaku terpaksa menerima bantuan dari pemerintah itu. Selama berada di Digoel, Sjahrir tidak memiliki pendapatan sepeser pun untuk menafkahi istrinya di Belanda.

Hatta dapat memaklumi keputusan Sjahrir. Namun, beberapa kawan di Digoel mencela Sjahrir. Dia dituduh telah menyerah kepada pemerintah Belanda.

Hatta meyakinkan semua orang bahwa Sjahrir bukan meminta, tetapi hanya menerima, dan memang keadaan yang memaksanya melakukan hal itu. Beberapa waktu kemudian, cela-celaan kepada Sjahrir tidak terdengar lagi.

Kamp Boven Digoel didirikan Belanda pada 1927 dengan dua lokasi, Tanah Merah dan Tanah Tinggi. Gubernur Jenderal Hindia Belanda bisa menggunakan kekuasaannya mengirim orang yang dianggap mengancam hukum dan peraturan ke tempat tertentu.

Risma perlu mendengar nasihat ini supaya hatinya lebih lembut dan lebih paham kemanusiaan dan sejarah.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News