Dilema Pembebasan 10 WNI Sandera

Oleh KARDONO SETYORAKHMADI

Dilema Pembebasan 10 WNI Sandera
Milisi Abu Sayyaf yang didominasi pemuda asal Pulau Sulu sedang mengancam dua sandera asal Jerman. FOTO: AFP PHOTO / SITE INTELLIGENCE GROUP

Yang kedua adalah faksi Rodulan Nasiron. Faksi itu sebenarnya “pewaris” sah setelah dinasti Janjalani tak lagi menguasai pucuk pimpinan Abu Sayyaf. Kelompok itulah yang melakukan penculikan terhadap para WNI dan warga dari sejumlah negara lain. 

Rodulan Nasiron menjalankan organisasi seperti awalnya, yakni membaur dengan masyarakat setempat. Meski dianggap jahat dan barbar oleh dunia internasional, Rodulan dikenal sebagai Robin Hood oleh warga setempat. Tiap hasil penculikan selalu mereka bagi. 

Dengan pola seperti itu, tentu saja dia sangat butuh banyak biaya. Baik untuk pembiayaan milisi maupun dibagi dengan masyarakat. Kelompok itu tak punya akses ke ISIS. Artinya, tak ada donasi dari Timur Tengah. Melakukan fa’i (perampokan atas nama syariat) juga bukan opsi menarik. Hasilnya tak sepadan dengan risikonya. 

Satu-satunya yang paling murah dan mungkin dilakukan adalah pembajakan dan penculikan di laut. Mereka punya skill mumpuni di laut, sementara kontrol Angkatan Laut (AL) Filipina lemah. AL Filipina tergolong yang paling lemah di ASEAN, jauh di bawah TNI-AL. Sebuah pilihan yang sempat akan dilakukan Dulmatin di Laut Banda jika saja tak terbunuh dalam raid aparat Indonesia pada 2008. 

Dengan latar belakang seperti itu, tentu saja mereka tak akan mudah untuk melepaskan sandera begitu saja. Mereka sudah mengeluarkan ongkos lumayan ketika melakukan operasi pembajakan, masak mau melepas begitu saja. 

***
Seharusnya yang dilakukan sejak awal adalah melakukan negosiasi bawah tanah dengan para penculik. Banyak sekali orang Indonesia yang punya kontak dengan kelompok Rodulan. Seperti kata Ali Fauzi, yang penting sandera selamat dulu. 

Baru langkah selanjutnya adalah memastikan agar peristiwasepertiitutidakterjadilagi.Entahdenganmenggelar operasi gabungan tiga negara (Malaysia, Indonesia, dan Filipina) atau sekadar berpatroli bersama. Mengetahui ada satu kelompok teroris sadis yang bebas berkeliaran di satu kawasan seharusnya sudah menjadi lampu kuning bagi tiga negara itu untuk melakukan sesuatu. (*) 



Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News