Dinamika dan Tantangan Ekonomi 2019

Dinamika dan Tantangan Ekonomi 2019
Jan Prince Permata SP, M,Si. Foto: Dokpri for JPNN.com

Dan salah satu yang penting dijaga adalah daya beli masyarakat. Karena daya beli atau konsumsi tetap menjadi kunci penggerak ekonomi. Di awal 2018 lalu, publik dan ekonom terlibat polemik daya beli. Ada yang menyebut daya beli anjlok. Namun, sebaliknya, ada yang menyebut daya beli justeru kuat, yang terjadi pola konsumsi masyarakat mulai beralih dari pola tradisional/luring menjadi daring/online. Sekeras apapun polemik yang ada, yang pokok adalah pemerintah harus mampu menjaga daya beli rakyat itu sendiri.
Di tengah polemik daya beli, Indonesia sebenarnya punya potensi menjadi kekuatan baru ekonomi dunia. McKinsey Global Institute jauh-jauh hari telah memprediksi Indonesia akan masuk dalam 7 (tujuh) besar kekuatan ekonomi dunia pada 2030 mengalahkan Jerman dan Inggris. Hal ini disebabkan dari sisi kependudukan, akan tumbuh kelas menengah Indonesia dari 45 juta orang di 2010 menjadi 135 juta orang pada tahun 2030. Pertambahan kelas menengah akan mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Sebelumnya, Bank Dunia pada Mei 2014 mencatat ekonomi Indonesia berada pada peringkat 10 dunia berdasaran GDP (Produk Domestik Bruto) Purchasing Power Parity (tingkat daya beli). Capaian ini menempatkan Indonesia berada di bawah Amerika Serikat, China, India, Jepang, Jerman, Rusia, Brasil, Prancis dan Inggris. Pencapaian ini sangat menggembirakan mengingat 15 tahun sebelumnya, Indonesia dilanda krisis ekonomi yang hebat.

Namun di balik itu semua, Indonesia sedikitnya mengahadapi lima masalah mendasar sektor ekonomi. Pertama, kemiskinan. Data BPS per Maret 2018 mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia sekitar 9,82 persen atau 25,95 juta orang, yang jika dirinci di perdesaan sekitar 15,81 juta orang dan di perkotaan 10, 14 juta orang. Kedua, pengangguran. BPS mencatat data pengangguran di Indonesia pada Agustus 2018 mencapai 5,34 persen atau 7 juta orang. Pengangguran terbuka dengan angka seperti ini wajib dan harus diantisipasi serta dicari jalan keluarnya.

Ketiga, ketimpangan. Ketimpangan di Indonesia saat ini bisa dilihat antara lain dari tingginya gini-ratio pendapatan yaitu 0,389 per Maret 2018. Jika lebih diperinci gini ratio diperkotaan mencapai 0,401 dan gini ratio di perdesaan 0,324.

Data BPS, juga menunjukkan tingginya ketimpangan penguasan aset dan tanah. Ketimpangan di Indonesia juga bisa kita lihat melalui kesenjangan antara desa dan kota, kawasan maju dan tertinggal, pusat (central) dan pinggiran (pheripheri). Ketimpangan juga bisa dilihat dari kesenjangan akses masyarakat terhadap pendidikan, kesehatan dan jasa keuangan yang masih tinggi.

Keempat, utang. Bank Indonesia (BI) merilis data terbaru utang luar negeri Indonesia pada Agustus 2018 yang mencapai US$ 360,7 miliar atau sekitar Rp 5.410 triliun dengan asumsi satu dollar AS setara 15 ribu rupiah. Utang yang disertai bunga pada waktunya akan jatuh tempo ini tentunya akan membebani perekonomian nasional.

Kelima, ketergantungan yang tinggi terhadap luar negeri. Semakin eratnya kerterkaitan pasar keuangan Indonesia dengan pasar keuangan internasional seiring dengan penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas sejak 14 Agustus 1997 menyebabkan perekonomian Indonesia rentan terhadap gangguan eksternal, termasuk arus modal dalam jumlah besar maupun jumlah ekspor dan impor.

Inilah tantangan-tantangan ekonomi yang nyata kita hadapi sekarang dan masa-masa yang akan datang.

Tahun 2018 pertumbuhan ekonomi Indonesia ada pada kisaran 5,2 persen. Angka itu lebih rendah dari proyeksi APBN sebesar 5,4 persen.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News