Dinny Jusuf, Penyelamat Tenun Toraja yang Hampir Punah Jadi Produk Kelas Dunia

Tak Lelah Rayu Penenun Tua agar Mau Ajari Anak Muda

Dinny Jusuf, Penyelamat Tenun Toraja yang Hampir Punah Jadi Produk Kelas Dunia
Dinny Jusuf (kiri, baju merah) dan Nina Jusuf di antara beragam karya indah kain tenun di butik Toraja Melo. Foto: Ahmad Baidhowi/Jawa Pos

Seiring dengan perbaikan-perbaikan yang dilakukan di Toraja, penjualan beragam produk kain tenun di Jakarta kian laris. Pada Oktober 2010, Dinny mendirikan yayasan dan perusahaan dengan nama Toraja Melo. Artinya Toraja yang indah. Yayasannya memiliki misi membantu pengembangan pelatihan menenun di Toraja, sedangkan perusahaannya bergerak di sisi bisnis, yakni pemasaran produk. ”Kalau di luar negeri, disebutnya social enterprise,” katanya.

Hasilnya nyata. Para penenun yang dulu sulit menjual produknya rata-rata kini bisa mendapat penghasilan Rp 2 juta–Rp 3 juta per bulan, jumlah yang besar untuk para ibu rumah tangga di Toraja. Bahkan, banyak TKI perempuan yang dulu mengais rezeki di negeri tetangga kini pulang, belajar, dan menjadi penenun di Toraja.

Jumlah penenun Toraja yang dulu bisa dihitung dengan jari dan terus menyusut kini berkembang pesat, sudah lebih dari 250 orang. Demikian pula bisnis Toraja Melo yang digawangi sebelas orang yang semuanya perempuan. Empat di antaranya, papar Dinny, adalah anak-anak muda lulusan Amerika Serikat dan Eropa yang tergugah untuk pelestarian budaya ala Toraja Melo. Selain Jakarta dan Bali, produk-produk Toraja Melo yang dijual di kisaran harga Rp 50 ribu–Rp 2 juta juga sudah menembus pasar ekspor, dijual di beberapa pusat perbelanjaan ternama di Jepang, Amerika Serikat, hingga beberapa negara Eropa.

Kesuksesan Dinny menggelorakan kain tenun Toraja tak lantas membuatnya berpuas hati. Sebab, papar ibu dua anak itu, masih banyak kain tenun dari daerah lain yang terancam punah. Karena itu, Toraja Melo pun melebarkan sayap dengan memberikan pelatihan dan memberdayakan penenun di Sulawesi Barat serta Flores Timur.

Saat ini pelatihan dan pemberdayaan itu sudah melibatkan 100 penenun di Mamasa, Sulawesi Barat, serta 150 penenun di Pulau Adonara dan Pulau Lembata, Flores Timur. ”Jadi, sekarang ada sekitar 500 penenun yang menjadi mitra kami,” ucapnya.

Kegigihan dan ketekunan Dinny serta seluruh kru Toraja Melo kini terbayar sudah. Kain tenun yang terancam punah itu kini mulai bangkit. Karya-karya indah Toraja Melo juga sering muncul di pergelaran-pergelaran bergengsi seperti Indonesia Fashion Week.

Berbagai penghargaan pun dia raih. Misalnya, pada 2013 dia menerima Indonesian Women of Change Award dari Kedutaan Besar Amerika Serikat, lalu penghargaan Best Creation Award dari Bank Negara Indonesia (BNI). Pada 2014, Toraja Melo masuk daftar bergengsi 50 Leading Companies for Women dari APEC (Asia-Pacific for Economic Cooperation) atau 50 perusahaan yang memajukan perempuan di kawasan Asia-Pasifik.

Yang terbaru, pada Maret 2015 Toraja Melo terpilih sebagai salah satu Honorable Mention oleh Arthur Guinness Projects & Ashoka Changemakers di tingkat global. Tapi, sejatinya bukan beragam penghargaan bergengsi itu yang paling dinanti Dinny. ”Saat orang-orang bangga memakai kain tenun, itulah penghargaan paling membahagiakan bagi saya,” ucap dia. (owi/c11/kim)

Tenun adalah salah satu kekayaan seni budaya Nusantara. Tak banyak yang mengetahui bahwa helaian kain indah itu sempat terancam punah. Untung, ada


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News