Dinny Jusuf, Penyelamat Tenun Toraja yang Hampir Punah Jadi Produk Kelas Dunia

Tak Lelah Rayu Penenun Tua agar Mau Ajari Anak Muda

Dinny Jusuf, Penyelamat Tenun Toraja yang Hampir Punah Jadi Produk Kelas Dunia
Dinny Jusuf (kiri, baju merah) dan Nina Jusuf di antara beragam karya indah kain tenun di butik Toraja Melo. Foto: Ahmad Baidhowi/Jawa Pos

Dinny lantas menggandeng ibu-ibu rumah tangga dari Yayasan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) di Jakarta untuk menjahit pakaian dari kain tenun tersebut. Berbekal promosi dari mulut ke mulut, produk itu laris manis saat dipasarkan kepada teman-teman maupun koleganya. ”Waktu itu saya bikin 100 (potong) baju. Habis terjual dalam waktu singkat,” ujarnya sambil tersenyum lebar.

Permintaan pun berdatangan. Bukan hanya baju, tapi juga tas, sepatu, dan berbagai aksesori dari kain tenun Toraja. Dinny lantas membagi kabar gembira itu kepada para penenun di Toraja.

Namun, tingginya permintaan tersebut sekaligus membuat pening kepala. Usia para penenun yang sudah tua membuat produksi tidak bisa ditingkatkan dengan cepat. Karena itu, jumlah penenun harus lebih banyak. Dinny kemudian mendekati ibu-ibu rumah tangga di Toraja untuk diajak menenun. Tapi, mayoritas di antara mereka tidak memiliki keahlian itu.

Dinny pun mulai mengadakan pelatihan menenun. Dengan janji bahwa hasil tenun akan dibeli, beberapa perempuan bersedia ikut. Namun, permasalahan lain menghadang. Rupanya, para penenun tua hanya bersedia mengajarkan keterampilan menenun kepada anak-anak atau cucunya. Padahal, banyak anak perempuan mereka yang menjadi TKI atau bekerja di luar daerah. ”Rupanya, keterampilan tenun dianggap rahasia keluarga. Jadi, tidak diajarkan kepada orang yang bukan keluarganya,” kata Dinny sambil geleng-geleng.

Tapi, Dinny tak putus asa. Dengan sabar dan tekun, dia mendatangi para penenun tua, mengajak mereka makan bersama. Tak cuma sekali dua kali, melainkan hingga belasan kali sembari terus menanamkan kesadaran betapa pentingnya mereka mewariskan keterampilan tenun kepada generasi berikutnya.

Kegigihan Dinny pun meluluhkan hati para penenun tua. Pelatihan-pelatihan kecil dilakukan sepanjang 2008–2010. Kian lama, jumlah penenun di Toraja bertambah banyak. Sebagian adalah ibu-ibu berusia 30–40 tahun. Bahkan, ada pula anak muda yang mulai tekun menenun.

Namun, tantangan tak berhenti di situ. Dinny kembali harus beraksi bak diplomat ulung saat membujuk para penenun di Toraja untuk menenun kain dengan warna-warna yang disukai pasar, misalnya merah hati. Padahal, warna itulah yang selama ini dijauhi para penenun karena dianggap jelek. Pelan tapi pasti, Dinny berhasil meyakinkan para penenun bahwa warna merah hati adalah favorit pembeli. Hal sama dia lakukan saat memperkenalkan beberapa motif baru yang bernuansa modern.

Selain warna dan motif, Dinny juga masuk ke peningkatan kualitas kain. Saat itu akses para penenun untuk membeli benang berkualitas di Toraja terbatas. Akibatnya, selain kain kurang halus, ada yang luntur karena ditambahi zat pewarna. Solusinya, Dinny langsung membawa benang-benang berkualitas dari Jakarta dan Surabaya untuk memasok para penenun. Dengan begitu, kualitas kain tenun pun meningkat signifikan.

Tenun adalah salah satu kekayaan seni budaya Nusantara. Tak banyak yang mengetahui bahwa helaian kain indah itu sempat terancam punah. Untung, ada

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News