Ditulis Markas Tentara Tiongkok, Ternyata...

Ditulis Markas Tentara Tiongkok, Ternyata...
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara (keempat kanan) bersama Masyarakat Anti Fitnah Indonesia mendeklarasikan Gerakan Anti Hoax di Bundaran Hotel Indonesia Jakarta, Minggu (8/1/2016). FOTO: MIFTAHULHAYAT/JAWA POS

Kegelisahan lelaki kelahiran Wonosobo, 6 September 1978, tersebut terhadap berita hoax begitu besar. Dia melakukan perlawanan sejak 2012. Tidak sendiri. Septiaji menggandeng sejumlah rekan.

Pada September 2015 mereka mulai lebih intensif menangkal dan meluruskan berita-berita hoax. Gerakan itu terus berkembang.

Pada 1 Desember 2016 Septiaji meresmikan gerakan Masyarakat Indonesia Anti-Hoax. Gerakan itu kemudian dibuat menjadi lembaga berbadan hukum bernama Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFI). Slogan yang mereka usung bernuansa kekinian, yakni Turn Back Hoax (turnbackhoax.id).

Menjamurnya berita hoax di tanah air tidak lepas dari rendahnya budaya literasi. Hasil pengukuran tingkat literasi dunia pada April 2016, Indonesia berada di urutan ke-60 di antara 61 anggota.

Posisi Indonesia hanya lebih baik daripada Botswana, negara kecil di Afrika yang berpenduduk 2,1 juta jiwa. ”Tentu bukan prestasi yang membanggakan,” kata Septiaji.

Tingkat literasi yang rendah itu lantas mendapat gempuran perkembangan teknologi informasi (TI) yang signifikan. Smartphone menjamur. Bukan hanya orang dewasa yang memiliki telepon pintar, tapi juga anak-anak.

Tingkat kepemilikan smartphone dan akses ke media sosial di Indonesia menduduki peringkat kelima dunia.

Perpaduan antara literasi yang rendah dan akses ke media sosial yang tinggi menimbulkan dampak yang luar biasa. Orang dengan beragam latar belakang profesi ikut menyebarkan berita hoax.

Sudah sering terjadi masyarakat menjadi korban beredarnya berita hoax alias bohong. Kini, ada pihak yang peduli dan mengobarkan perang melawan berita

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News