Donald Trump pun Menjabat Tangannya dengan Terpingkal-pingkal

Donald Trump pun Menjabat Tangannya dengan Terpingkal-pingkal
Donald Trump pun Menjabat Tangannya dengan Terpingkal-pingkal

Shamsi terbebas dari budaya itu karena begitu tamat SD langsung bersekolah di SMP/SMA Islam di Makassar. Lalu dapat beasiswa untuk kuliah di Islamabad, Pakistan. Sambil meneruskan S-2, Shamsi mengajar di Islamabad. Ketika sebuah sekolah di Jeddah, Arab Saudi, mencari guru  yang bisa berbahasa Arab dan Inggris, Shamsi melamar. Gajinya besar dan dolar.

Tentu dia senang bisa bekerja di Arab Saudi. Bisa sekalian naik haji. Tapi, dia juga merasa tertekan. Pemikiran keagamaan di Arab Saudi sangat eksklusif dan tekstual. Banyak contoh dia kemukakan di buku itu. Dia berontak. ”Islam itu terbuka dan inklusif. Tapi, ini kaku dan eksklusif,” tulisnya. Praktik seperti itu, katanya, cenderung membuat orang agresif. ”Saya tidak menyebutnya radikal atau ekstrem,” katanya, menghaluskan istilah.

Lalu, terjadilah serangan teroris di New York yang dikenal sebagai 9/11 itu. Umat Islam terpojok. ”Saya sedih, bingung, malu,” ujar Ustad Shamsi. Istrinya yang berjilbab tidak mau keluar rumah. Masjidnya di Queen dia tutup tiga hari. Tapi, tetangga Shamsi yang Katolik justru membesarkan hatinya. Sang tetangga mendatangi rumahnya. Merangkulnya. Memberikan dukungan moral. ”Saya tidak percaya Islam mengajarkan itu,” katanya kepada Shamsi.

Teror tersebut memang amat jauh dari penampilan Shamsi yang dia kenal sehari-hari: amah, selalu tersenyum, dan suka menolong tetangga.

Shamsi akhirnya terpanggil untuk berani tampil menjelaskan apa itu Islam. Dia pun mengutuk teror tersebut. Berbagai forum dia manfaatkan untuk menjelaskan Islam. Gereja, sinagoge, dan pemerintah mengundangnya. Termasuk forum yang dihadiri Presiden Bush. ”Anda bayangkan betapa kikuknya saya. Dalam suasana duka seperti itu, saya harus bersalaman dengan Presiden Bush,” katanya. Akhirnya, dia beranikan bicara kepada presiden yang lagi geram itu. ”Mohon Bapak Presiden menjelaskan bahwa Islam tidak seperti itu,” katanya kepada Presiden Bush. Hari itu, di Ground Zero. Presiden tidak mengatakan itu. Tapi, keesokan harinya, di Washington, Presiden Bush mengatakan apa yang diinginkan Shamsi.

Shamsi lantas juga mengundang berbagai kalangan ke masjidnya. Termasuk Wali Kota New York Bloomberg. Saat tiba waktunya salat berjamaah, Shamsi mempersilakan wali kota duduk di kursi yang sudah disediakan di pinggir masjid. ”Ternyata wali kota Bloomberg mau ikut salat di belakang imam,” tutur Shamsi. ”Beliau mengikuti seluruh gerakan salat kami,” tambahnya.

Tentu pandangan negatif terhadap Islam masih terus terjadi. Ketika pengusaha besar New York Donald Trump ingin maju sebagai calon presiden menghadapi Obama, wartawan minta pandangannya tentang Islam. ”Islam itu berbahaya,” ujar Trump yang disiarkan media.

Ustad Shamsi ingin meluruskan itu. Dia minta waktu untuk bertemu dengan Donald Trump. Pertemuan dijanjikan di lantai paling atas Trump Tower di dekat Central Park New York. Begitu tiba di ruangan Trump, Shamsi kaget terheran-heran. Sambil menjabat tangan Shamsi, Trump tertawa terbahak-bahak. Tidak berhenti-berhenti pula. ”Baru sekali ini saya bertemu orang Islam yang wajahnya sejuk dan tersenyum terus,” kata Trump.

INILAH dialog dua sahabat beda agama tentang perkenalan pertama mereka yang kurang menyenangkan. Ini terjadi di New York, antara tokoh Islam terpenting

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News