Falah Amru, 'Kaum Sarungan' di 'Kandang Banteng'

Semasa Aktivis Sempat Ikut Jatuhkan Gus Dur

Falah Amru, 'Kaum Sarungan' di 'Kandang Banteng'
DUA JALUR: Falah Amru menjadikan PDIP sebagai rumah politik dan NU sebagai tempat pengabdian. Foto: Dian Wahyudi/Jawa Pos

LSM tersebut, pada sekitar 2001–2002, termasuk yang ikut mendukung menjatuhkan Presiden Keempat RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). ”Lucu juga sih,saya yang tumbuh dan berkembang dari lingkungan ’kaum sarungan’ justru ikut terlibat menjatuhkan presiden dari kalangan NU sendiri,” beber pengusaha di bidang farmasi dan pertambangan nikel tersebut. 

Falah menyatakan, sebagai warga NU, dirinya tentu sangat hormat kepada Gus Dur secara personal. ”Tapi, saya yakin almarhum (Gus Dur) akan bisa sangat memahami pilihan dan sikap politik yang saya ambil waktu itu. Jelek-jelek saya juga banyak belajar tentang bagaimana menghargai perbedaan dari beliau,” imbuh putra mantan politikus PPP dan PKB Amru Al Mu’tasyim tersebut. 

Kedekatan Falah dengan PDIP semakin intens mulai sekitar 2003. Yaitu ketika dirinya ikut terlibat dalam forum-forum diskusi aktivis-aktivis muda yang diwadahi mendiang Taufiq Kiemas, tokoh senior PDIP yang juga suami Megawati. ”Beliau yang membuat saya makin dekat ke PDIP,” ungkapnya.

Pada tahun yang sama pula, mulai tumbuh kembali kesadaran dalam diri Falah bahwa dirinya tidak boleh melupakan akar sejarahnya. Sembari terus terlibat dalam gerakan-gerakan sosial politik bersama kalangan nasionalis, dia juga mulai kembali menceburkan diri ke NU.  Pilihannya saat itu adalah aktif di Ikatan Putra Nahdlatul Ulama (IPNU). Pada 2003 dia kemudian dipercaya duduk sebagai wakil bendahara PP IPNU, di era kepemimpinan Abdullah Azwar Anas yang kini menjabat bupati Banyuwangi, Jawa Timur. 

”Kembali ngawulo ke NU. Meski untuk IPNU ini sebenarnya juga bukan organisasi baru bagi saya. Ketika SMP dan SMA saya sudah masuk di IPNU Cabang Ponorogo,” ungkapnya.

Dua wilayah pergerakan tersebut hingga saat ini masih dilakoninya. Secara politik dia menjadikan PDIP sebagai rumah politik. Namun, pada saat bersamaan, NU tetap pula dijadikan pilihan mengabdi dalam ranah kemasyarakatan. 

Menurut Falah, dua dunia tersebut bisa dijalani secara bersamaan, mengingat NU dan PDIP memiliki satu titik temu. Basis massa keduanya adalah sama-sama kalangan bawah. ”Yang diperjuangkan dan yang diurus sama. Bedanya, kalau di NU pakai istilah mustadh’afin, tapi kalau di PDIP pakai wong cilik, itu saja,” katanya sambil tersenyum lagi. 

Falah mengakui, aktivitasnya di NU ikut memberikan sumbangsih luar biasa dalam karir politiknya. Salah satunya keberhasilannya duduk di Senayan pada periode ini. Maju dari dapil Jatim 10 (Lamongan-Gresik), pesaing dari internal cukup berat pada pemilu legislatif 9 April lalu. 

Tokoh struktural Nahdlatul Ulama (NU) yang masuk dunia politik sudah banyak. Namun, mereka yang memilih PDIP sebagai rumah politik relatif masih bisa dihitung dengan jari.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News