Fenomena Ngelem jadi Pintu Masuk Narkoba

Fenomena Ngelem jadi Pintu Masuk Narkoba
4 anak yang ngelem. Foto: Radar Sampit/JPNN

Fenomena bocah nge-lem itu sebenarnya bukan hal baru. Namun, polanya biasanya mengikuti tren. Setelah reda selama dua tahun, kasus tersebut muncul lagi.

Misalnya, pada 2017, tidak ditemukan kasus bocah nge-lem. Tahun ini di sepanjang Januari-Oktober tidak ditemukan kasus itu. Namun, dalam waktu dua bulan terakhir, kasusnya terus bermunculan.

Selain meningkatkan operasi penertiban, Irvan meminta warga bisa ikut aktif membantu memberikan informasi.

Khususnya mengenai aktivitas anak-anak yang dianggap mencurigakan. Warga bisa menghubungi Command Center 112.

Laporan warga tersebut sangat efektif membantu kerja pemkot. Misalnya, saat penertiban lima bocah nge-lem di kawasan Banyu Urip pada 19 November lalu. ''Penertiban itu atas informasi masyarakat yang mengadu ke Command Center 112,'' jelasnya.

Sementara itu, psikolog RS Universitas Airlangga (RSUA) Sanny Prakosa mengatakan bahwa peristiwa nge-lem merupakan tren di kalangan remaja. Tren tersebut diketahui remaja melalui berbagai saluran media. Terutama media sosial yang sering mereka akses.

Tren menimbulkan rasa penasaran bagi remaja. Apalagi, mereka tahu dampak nge-lem seperti berhalusinasi dan merasa di awang-awang alias nge-fly. Padahal, dampak lain nge-lem berbahaya. Yakni, bisa mengakibatkan sesak napas dan merusak jaringan otak.

Dalam kasus nge-lem, Sanny melihat adanya bias gender yang berpengaruh. Nge-lem umumnya dilakukan bocah laki-laki.

Zat yang terkandung dalam lem tersebut memiliki sifat adiktif sehingga bisa mengakibatkan kecanduan bagi yang mengonsumsi.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News