Filosofi Wayang

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Filosofi Wayang
Dhimam Abror Djuraid. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Wayang adalah bayangan. Pertunjukan wayang kulit adalah bayangan atau refleksi kehidupan. Begitu kata orang Jawa mengenai filosofi wayang.

Karena itu, ada penggemar berat wayang yang menonton pertunjukan itu dari balik layar sehingga benar-benar menyaksikan wayang atau bayangan yang sesungguhnya.

Filosofi wayang menjadi bagian dari hidup manusia Jawa. Pertarungan tidak pernah henti ‘’perpetual fight’’, antara kebaikan dan keburukan, antara kiri dan kanan, antara yang haq dan yang batil.

Pertarungan abadi itu diejawantahkan dalam persaingan dan peperangan antara Kurawa melawan Pandawa yang penuh intrik dan tipu muslihat.

Perang adalah tipu muslihat. Segala cara bisa ditempuh untuk memenangi perang. Intrik, fitnah, penipuan, intimidasi, penyiksaan, pembunuhan, semua adalah bagian dari strategi perang untuk menghancurkan lawan dan menegakkan keadilan.

Kurawa adalah koalisi seratus orang bersaudara dipimpin oleh Prabu Duryudana, seorang raja yang kuat secara fisik, tinggi besar, dan punya kesaktian tinggi.

Duryudana harus memimpin koalisi seratus saudaranya yang punya karakter sangat beragam, dari mulai yang paling culas sampai yang mirip penjahat. Namun, di kalangan koalisi Kurawa atau Astina itu juga banyak terdapat pangeran, raja, dan pandita yang berakhlak mulia.

Pandawa atau Amarta hanya terdiri dari lima bersaudara Puntadewa, Bimasena, Arjuna, dan si kembar Nakula-Sadewa. Pandawa dan Kurawa bersaudara dekat karena dilahirkan dari satu bapak dan beda ibu.

Apakah wayang haram? Jokowi pasti menjawab tidak. Apakah Jokowi sama dengan Soeharto?

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News