Filosofi Wayang

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Filosofi Wayang
Dhimam Abror Djuraid. Foto: Ricardo/JPNN.com

Namun, terjadi ‘’sibling rivalry’’, rivalitas antarkeluarga, sejak masa kecil, dan Pandawa yang minoritas selalu menjadi bahan rundungan mayoritas Kurawa.

Perpetual fight, pertarungan abadi itu akhirnya harus ditentukan melalui pertempuran besar Baratayuda. Dua kerajaan beserta semua sekutunya berhadapan di palagan Padang Kurusetra untuk menjalani partai grand final, untuk menentukan siapa yang akan menjadi juara dan menjadi penguasa dunia.

Baratayuda adalah the judgment day, hari pengadilan, dan menjadi the moment of truth, momen kebenaran, untuk memastikan bahwa kebaikan akan menang di dunia. Pandawa, sebagai pejuang kebenaran, pada akhirnya memenangi pertempuran besar itu.

Pandawa adalah simbol nilai-nilai kebaikan, rightness, dan keutamaan, virtues. Namun, secara personal, masing-masing anggota Pandawa punya kelemahan moral, moral weakness.

Puntadewa yang disebut sebagai berdarah putih, karena tidak pernah menyakiti hati orang lain, punya kebiasaan berjudi, sampai akhirnya harus menggadaikan negara dan keluarganya kepada lawan main judinya.

Werkudara ksatria jujur, tetapi kasar dan tidak mengenal unggah-ungguh. Arjuna yang jago perang tanding juga jago main perempuan, don yuan kelas wahid, lelananging jagat, yang tidak ada duanya di muka bumi.

Nakula-Sadewa si kembar adalah kesatria medioker yang memainkan peran ‘’penjangkep’’.

Secara kolektif Pandawa adalah simbol keutamaan yang bakal menang melawan angkara murka kezaliman. Pada akhirnya, kebenaran memperoleh kemenangan, meski harus dilakukan dengan membantai seluruh keluarga lawan, termasuk para sesepuh dan guru-guru Pandawa sendiri.

Apakah wayang haram? Jokowi pasti menjawab tidak. Apakah Jokowi sama dengan Soeharto?

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News