Finger Talk Cafe, Pertama dengan Pramusaji Tunarungu

Pesan Makanan dengan Gerakan Jari dan Tangan

Finger Talk Cafe, Pertama dengan Pramusaji Tunarungu
Nurul (kanan) pramusaji deaf melayani pembeli yang datang ke kafe finger talk. Pembeli berusaha menjelaskan pesanannya kepada pramusaji. Foto: Zalzilatul Hikmia/Jawa Pos

Setelah Dissa berhasil merekrut para tunarungu, perjuangan tidak serta-merta berhenti. Dia harus belajar agar dapat menemukan pola kerja sama yang pas dengan pekerjanya. Sebab, mereka dinilai memiliki perasaan yang lebih sensitif ketimbang karyawan yang normal.

Saat tidak nyaman dalam suatu keadaan, misalnya, raut wajah mereka akan langsung jelas menggambarkan hal tersebut. Untung, sebelum memutuskan terjun dalam dunia bisnis itu, Dissa belajar dari Pat. Dia belajar bahasa istyarat, memahami sifat-sifat mereka, serta cara berkomunikasi dengan baik kepada mereka. Karena itu, saat pembukaan kemarin, Dissa selalu menanyakan kondisi mereka.

”Harus pinter-pinter baca situasi. Kalau raut muka sudah tidak baik lagi, langsung samperin, ajak ngobrol. Tenangin,” jelasnya.

Dissa sadar, dengan merekrut mereka, pekerjaannya pun mungkin akan semakin berat. Dia tidak hanya menjaga mood pelanggan, tapi juga anak buahnya. Tapi, itu tidak sedikit pun mengusiknya. Jiwa sosial untuk dapat membantu menyejahterakan mereka menjadi alasan kuat. ”Lagian, saya tidak sendiri. Banyak yang membantu dan mendukung saya,” ungkap perempuan yang jago main gitar itu.

Perjuangan berat ternyata juga dirasakan sang karyawan, Fatri Nurul Andriyani, 20. Status fresh graduate dari salah satu sekolah luar biasa (SLB) di Bandung tentu bisa menggambarkan minimnya pengalamannya dalam dunia kerja. Nurul mengaku kadang susah mencerna maksud pembeli. Bahkan, dia sempat salah menyajikan makanan. Pesanan meja nomor 6 dia sajikan di nomor 3. Dia pun mendapat komplain dan harus menukar pesanan.

Karena itulah, seusai melayani pelanggan, dia selalu bertanya kepada Frisca tentang apa yang menjadi masalah. ”Masih pusing,” ujarnya dengan terbata sambil menggerakkan tangan ke arah kepala.

Namun, tidak demikian halnya dengan Frisca. Pemilik nama lengkap Frisca Carolina itu sudah sangat enjoy. Sebelumnya dia memang bekerja di bidang tata boga ataupun pekerja rumah tangga. Tapi, kesulitan justru muncul dari teman-temannya. Problem tersebut muncul lantaran bahasa isyarat yang mereka gunakan agak berbeda. Untuk Bali, bahasa isyarat cenderung mengambil dari Amerika Serikat. Sebaliknya, Bandung memiliki gerakan khas sendiri, begitu pun Jakarta.

Untuk menyampaikan kata belajar, misalnya, Frisca akan menggerakkan tangan kanan di atas tangan kiri seolah mengambil sesuatu, kemudian diarahkan ke kepala. Sebaliknya, Nurul menyampaikannya dengan menopangkan satu tangan ke dagu. ”Tapi, kami tertolong dengan pulpen dan kertas,” ujarnya, lantas tertawa.

Memesan makanan biasanya dilakukan cukup dengan menyebutkan keinginan kita ke pramusaji. Namun, itu tidak berlaku di finger talk cafe di daerah Pamulang,

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News