Finger Talk Cafe, Pertama dengan Pramusaji Tunarungu

Pesan Makanan dengan Gerakan Jari dan Tangan

Finger Talk Cafe, Pertama dengan Pramusaji Tunarungu
Nurul (kanan) pramusaji deaf melayani pembeli yang datang ke kafe finger talk. Pembeli berusaha menjelaskan pesanannya kepada pramusaji. Foto: Zalzilatul Hikmia/Jawa Pos

Perempuan berjilbab itu pun mendatangi meja-meja lainnya. Dia tampak sibuk membuntuti seluruh pekerjanya saat menjamu para pengunjung. ”Maklum, masih baru. Tidak semua berpengalaman,” tutur perempuan kelahiran Jakarta, 25 tahun lalu, itu.

Dissa harus bolak-balik mengecek para tamu. Dia mengaku tidak menyesal akan pilihannya membangun finger talk cafe itu. Sebab, hal tersebut adalah salah satu impiannya sejak masih sekolah.

Dia ingin mengikuti jejak sang ibu untuk bisa membantu kaum tunarungu. Jadi, meski telah memiliki karir cemerlang di bidang perbankan, Dissa ingin mewujudkan impian untuk bisa membangun ”sesuatu” bagi para deaf atau tunarungu.

”Puas banget. Bersyukur, alhamdulillah bisa buka juga akhirnya,” tutur dia. Dissa mengungkapkan, keinginan itu sempat redup karena minimnya pengetahuan bisnis. Tak punya koneksi dengan komunitas deaf juga membuat dia susah untuk diterima pada awalnya. Sebab, menurut dia, ada sebagian yang membedakan pergaulan. Mereka menyebut yang normal dan deaf akan susah untuk bersama.

Tapi, rasa sosial untuk memberikan sesuatu bagi para tunarungu kembali muncul saat dia menjadi sukarelawan di Nikaragua, Amerika Tengah, pada 2004. Di sana dia menemukan sebuah kafe dengan seluruh pekerjanya tunarungu dengan pemilik hearing (seorang normal yang mengerti dan bisa bahasa isyarat). Kemesraan bos dan para pekerjanya tersebut seolah membangun rasa percaya diri Dissa untuk berani melangkah mewujudkan cita-cita yang sempat terpendam.

Setelah kembali ke Indonesia, Dissa dikenalkan dengan seorang deaf, Pat Sulistyowati, 65, pada 2014. Pat menyambut baik niat sulung di antara empat bersaudara itu dan langsung menyanggupi untuk membantu. Caranya, berkomunikasi dengan komunitas dan anak didiknya. Pat adalah guru keterampilan. Dia membuka les jahit di rumahnya khusus untuk tunarungu.

Dengan bantuan tersebut, ternyata jalan Dissa untuk menembus komunitas deaf tidak semulus dugaan awal. Dissa harus menunggu hingga lima bulan, sejak Desember 2014, untuk bisa bertemu dengan seluruh karyawannya saat ini.

Mereka satu per satu harus didekati dengan cara khusus untuk menyampaikan maksud Dissa. Usaha tersebut pun membuahkan hasil. Enam deaf berhasil diyakinkan untuk bergabung. ”Bahkan, yang Frisca datang baru minggu kemarin dari Bali,” ungkap alumnus Universitas New South Wales, Australia, itu.

Memesan makanan biasanya dilakukan cukup dengan menyebutkan keinginan kita ke pramusaji. Namun, itu tidak berlaku di finger talk cafe di daerah Pamulang,

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News