Gawat, Dewan Moneter Berpotensi Jadi Pintu Masuk Kepentingan Politik ke Bank Indonesia

Gawat, Dewan Moneter Berpotensi Jadi Pintu Masuk Kepentingan Politik ke Bank Indonesia
Bank Indonesia. Foto: JPNN

"Ahli moneter pun dalam Dewan Gubernur sekarang ini terdiri dari sekian orang, (dalam RUU) ini terdiri dari beberapa orang saja dan nanti yang memutuskan Menteri Keuangan," kata dia.

Dalam RUU BI yang disampaikan Badan Legislatif DPR, Dewan Moneter terdiri dari Menteri Keuangan, satu orang menteri yang membidangi perekonomian, gubernur BI, deputi gubernur senior BI, dan ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan.

Susunan anggota tersebut serupa dengan Dewan Moneter pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Kala itu, keberadaan Dewan Moneter tersebut, menurut Anthony, justru memperburuk kondisi ekonomi.

Secara terperinci, kata Anthony, inflasi tinggi terjadi pada 1973 sebesar 31 persen, pada 1974 sebesar 40 persen, pada 1976 sebesar 20 persen, dan 1975 sebesar 19 persen. 

Tren inflasi tinggi terus berlangsung hingga mencapai 58 persen pada 1998 saat krisis moneter terjadi. Kemudian, nilai tukar rupiah anjlok dari kisaran Rp2.400 menjadi Rp16 ribu per dolar AS.

"Kemudian Covid-19 datang, fiskal bangkrut, tetapi yang diutak-atik adalah moneter dibentuk lagi Dewan Moneter, ini kami kembali jadi primitif lagi," ujar Anthony.

Senada dengan Anthony, Head of Research Data Indonesia, Herry Gunawan juga menilai bahwa rencana menyatukan fungsi moneter Bank Indonesia (BI) di bawah Menteri Keuangan bisa merusak independensi BI selaku bank sentral.

"Seharusnya DPR juga digabungkan menjadi bagian pemerintahan, karena fungsi legislatif sudah dikangkangi dengan adanya Perppu penanganan Covid-19. Kemudian sekarang BI juga akan digabungkan menjadi dewan moneter," ujar Herry.

Anthony menilai pembentukan Dewan Moneter berimbas negatif. Tidak tertutup kemungkinan terdapat kepentingan politik ke dalam tubuh bank sentral dari pembentukan Dewan Moneter.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News