Menyoal Revisi UU Bank Indonesia

Oleh: MH Said Abdullah, Ketua Badan Anggaran DPR

Menyoal Revisi UU Bank Indonesia
Ketua Badan Anggaran DPR RI, MH Said Abdullah. Foto: Humas DPR RI

jpnn.com - Beberapa hari ini kita diramaikan oleh rencana Badan Legislasi DPR untuk merevisi Undang Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Memang draf tersebut merupakan draf awal yang dibuat oleh Badan Legislasi DPR.

Saya amat menyayangkan draf tersebut muncul ke publik dengan kontruksi pengaturan yang masih dangkal. Jadi wajar bila kemudian terjadi respons negatif dari para pelaku pasar dengan sentimen negative terhadap nilai tukar rupiah.

Ada dua hal yang perlu saya kemukakan terkait revisi Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 ini. Pertama, menyangkut momentum revisi UU No 23 tahun 1999 menurut hemat saya tidak pas.

Kebutuhan mendesak kita adalah memulihkan ekonomi nasional yang bakal mengalami resesi. Perkiraan saya resesi ini akan berjalan hingga tahun 2020 bila melihat pertumbuhan c19 masih tinggi, bahkan positive rate menyentuh 18% per 1 September 2020 kemarin. Seharusnya seluruh sumber daya kita, kita kerahkan mengatasi dua hal ini.

Kedua, konstruksi revisi UU No 23 tahun 1999 belum menyentuh tantangan ekonomi, terutama sektor keuangan kita kedepan. Alih alih menjawab tantangan terhadap kebutuhan dimasa depan, beberapa pasal pengaturan di draf revisi UU No 23 tahun 1999 malah berpotensi menimbulkan masalah masalah baru, misalnya tentang keberadaan Dewan Moneter.

Melalui Undang-Undang Nomor 9 tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), kita telah memiliki Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). KSSK ini komposisinya telah merepresentasikan kelembagaan sebagaimana yang di maksud oleh Dewan Moneter. Menteri Keuangan adalah Koordinator KSSK. Jangkauan kewenangan KSSK malah tidak saja sektor moneter, tetapi keseluruhan sektor keuangan yang berpotensi menimbulkan krisis sistem keuangan.

Masalah kedua terkait pengaturan ini adalah pengembalian kewenangan pengawasan bank dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ke Bank Indonesia (BI). Pengaturan ini bakal membatalkan sebagian besar isi Undang Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pertanyaan mendasarnya, apakah beberapa kasus kelemahan pengawasan di OJK serta merta di jawab dengan pengalihan pengawasan bank ke BI? Saya melihat bukan ini pokok masalahnya.

Pokok masalahnya terkait OJK adalah tidak ada lembaga pengawas yang kuat. Layaknya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki Dewas KPK yang kuat. Di sisi lain OJK memiliki kewenangan yang luar biasa, akan tetapi anggaran OJK didapatkan dari pungutan terhadap industri keuangan secara langsung oleh OJK. Ada celah konflik kepentingan, anggaran dari pelaku industri, tetapi OJK mengatur dan mengawasi pelaku industri. Poin ini saya kira yang harus kita pikirkan untuk disempurnakan.

Konstruksi revisi UU Nomor 23 tahun 1999 belum menyentuh tantangan ekonomi, terutama sektor keuangan kita kedepan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News