Geliat Lokananta, Studio Musik Pertama Indonesia, untuk Bertahan Hidup
Andalkan Kapur Barus-Kopi untuk Lindungi Piringan Hitam
Minggu, 28 Oktober 2012 – 17:01 WIB
Kembang kempisnya Lokananta itu terjadi karena per bulan pasak mereka lebih besar daripada tiang. Pengeluaran di atas pendapatan. Pendi menjelaskan, per bulan biaya operasi yang dikeluarkan sekitar Rp 45 juta. Itu mencakup gaji pegawai, listrik, air, hingga biaya yang lain.
Sebaliknya, pendapatan Lokananta dari menggandakan CD dan kaset serta penyewaan ruang studio musik hanya Rp 30 juta Rp 35 juta. Itu berarti setiap bulan defisit Rp 10 juta hingga belasan juta rupiah.
Untuk itu, kata Pendi, seizin pimpinannya, sejak 2009, dirinya mencoba memanfaatkan banyaknya lahan kosong untuk dibangun sesuatu yang lebih berguna dan menarik minat. Salah satu di antaranya, mendirikan lapangan futsal dan menyewakan beberapa lahan kepada perusahaan sekitar.
"Soalnya harus bagaimana lagi. Semua daya harus terus kami lakukan. Kalau hanya mengharapkan bantuan, ya tidak mungkin. Untungnya semua karyawan saya mau diajak bekerja keras. Meskipun, gaji mereka jauh dari ideal," kata Pendi.
Kehadiran sejumlah musisi dan band top tanah air untuk rekaman cukup membantu Lokananta bernapas. Untuk menambah dana, lahan kosong pun dimanfaatkan
BERITA TERKAIT
- Ninis Kesuma Adriani, Srikandi BUMN Inspiratif di Balik Ketahanan Pangan Nasional
- Dulu Penerjemah Bahasa, kini Jadi Pengusaha Berkat PTFI
- Mengintip Pasar Apung di KCBN Muaro Jambi, Perempuan Pelaku Utama, Mayoritas Sarjana
- Tony Wenas, Antara Misi di Freeport dan Jiwa Rock
- Hujan & Petir Tak Patahkan Semangat Polri Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Wilayah Terluar Dumai
- Tentang Nusakambangan, Pulau yang Diusulkan Ganjar Jadi Pembuangan Koruptor