Gizi Masih Jadi Masalah Serius di Asia

Gizi Masih Jadi Masalah Serius di Asia
Makanan sehat. (Foto: pixabay/jpnn)

Hal tersebut menyebabkan defisiensi mikronutrien atau "kelaparan tersembunyi". Orang-orang kelebihan berat badan atau terlihat sehat, tetapi kehilangan nutrisi penting. Menciptakan salah satu tren yang lebih mengkhawatirkan di wilayah ini.

Meningkatnya ketidaksetaraan di Asia berdampak terhadap perkembangan gizi yang tidak merata di Asia berasal, meski terdapat pertumbuhan PDB yang signifikan. Kekurangan gizi menjadi keprihatinan yang signifikan. Bahkan, ketika obesitas tumbuh.

Tingkat pendidikan dan melek huruf yang lebih rendah di kalangan ibu, juga memengaruhi status gizi. Demikian pula dengan tingkat kemiskinan. Tecermin dari kelebihan berat badan dan obesitas yang meningkat di antara segmen masyarakat miskin dan tinggal di perkotaan.

Kesadaran tentang kekurangan gizi dan kelebihan gizi pada sejumlah negara dan tingkat pendapatan ternyata relatif rendah di wilayah tersebut. Karenanya, ada kebutuhan meningkatkan kesadaran konsumen secara menyeluruh. Khususnya di kalangan ibu.

"Karena ibu adalah sumber nutrisi pertama untuk anak selama 'seribu hari pertama' kehidupan," terang Cargill.

“Orang dewasa juga perlu dididik lebih baik tentang bahayanya obesogenic food dan pentingnya berolahraga," imbuhnya.

Media sosial dan periklanan turut memengaruhi tren makanan. Keduanya menjadi komunikasi utama antara konsumen dan pemangku kepentingan dalam industri makanan. Media sosial memberikan peluang industri makanan sekaligus memacu upaya memantau dan mengatur konsumen.

Untuk itu, sejumlah negara di Asia menghambat intensitas iklan makanan dengan regulasi baru. Seperti yang dilakukan Taiwan, Singapura, dan Korea Selatan. Beberapa jenis iklan dilarang dan dibatasi.

Perkembangan masalah gizi di wilayah Asia mendapat penilaian serius dari Cargill

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News