Gus Amik

Oleh Dahlan Iskan

Gus Amik
Dahlan Iskan. Foto: Ricardo/JPNN.com

Jenazah Gus Amik dimakamkan di sebelah makam ayah saya –di kompleks Pesantren Sabilil Muttaqin (PSM) Takeran, Magetan. Itu berarti juga di sebelah makam ibunya. Hanya makam bapaknya yang tidak di situ –karena meninggal dunia di Makkah.

Kini kami kembali mengalami kesulitan regenerasi di PSM. Rupanya, itulah kesulitan yang tiada habisnya.

Sewaktu generasi pendiri habis dibunuh PKI di tahun 1948, kepemimpinan di pesantren kami vakum lama sekali. Generasi kedua masih kecil-kecil.

Kelak, ketika KH Moh. Tarmuji dewasa, barulah PSM kembali punya pemimpin. Itulah ayahanda Gus Amik.

Ketika Kiai Tarmuji meninggal dunia, Gus Amik masih terlalu muda. Belum disiapkan jadi kiai.

Terjadi lagi kekosongan kepemimpinan. Lama sekali. Setelah dewasa, barulah Gus Amik yang menjadi kiai pesantren.

Kini Gus Amik meninggal. Di usia 59 tahun. Dua anak laki-lakinya belum disiapkan menjadi kiai. Bisa jadi, lagi-lagi, terjadi kekosongan kepemimpinan. Lama lagi.

Memang tidak masalah. Kami-kami, para sepupu, bisa mengatasi persoalan sehari-hari. Toh semua madrasah kami –110 madrasah di lebih 15 kabupaten– sudah berjalan sendiri.

Saya berduka lagi. Kali ini karena Covid-19. Korbannya kakak sepupu saya: Gus Amik.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News