Hana Tetap Sekolah, Pilih Tidak Menikah
Selasa, 12 Februari 2013 – 08:17 WIB
SEJAK pendudukan AS terhadap Jepang, Geisha menjadi berkonotasi negatif. Meski begitu, di tengah modernitas yang mengepung, Geisha muncul sebagai simbol seni tradisional Jepang yang elok. Berikut catatan wartawan Jawa Pos HENNY GALLA yang baru dari Negeri Sakura itu.
Dalam balutan kimono merah, Hana menari di atas panggung kayu dengan gemulai. Ia memutar tubuhnya yang ramping, tanpa berpindah barang sejengkal dari tempatnya berdiri. Dan "crak!", ia kepakkan dengan keras kipas kertas di genggaman jemarinya.
Wajah putihnya pun tertutup separo. Perlahan, ia membuka lebar tangannya. Sorot matanya lurus, tanpa gurat senyum, meski ia menyadari tengah tenggelam dalam alunan lembut petikan shamisen (gitar tradisional Jepang).
Malam itu bukanlah pertama kalinya gadis 19 tahun itu tampil. Sudah lebih dari tiga tahun ia mendapat tugas menyambut para tamu di Meguro Gajoen, gedung resepsi perkawinan yang menyatu dengan hotel dan tempat hiburan keluarga. Gedung itu dibangun pada 1935.
SEJAK pendudukan AS terhadap Jepang, Geisha menjadi berkonotasi negatif. Meski begitu, di tengah modernitas yang mengepung, Geisha muncul sebagai
BERITA TERKAIT
- Ninis Kesuma Adriani, Srikandi BUMN Inspiratif di Balik Ketahanan Pangan Nasional
- Dulu Penerjemah Bahasa, kini Jadi Pengusaha Berkat PTFI
- Mengintip Pasar Apung di KCBN Muaro Jambi, Perempuan Pelaku Utama, Mayoritas Sarjana
- Tony Wenas, Antara Misi di Freeport dan Jiwa Rock
- Hujan & Petir Tak Patahkan Semangat Polri Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Wilayah Terluar Dumai
- Tentang Nusakambangan, Pulau yang Diusulkan Ganjar Jadi Pembuangan Koruptor