Haram

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Haram
Reza eks NOAH dan Uki Kautsar eks NOAH. Foto: Instagram/uki_kautsar

Meskipun generasi hippies ini hidup bebas, tidak mau diatur, dan tidak mau direcoki oleh politik, tetapi terbukti mereka menjadi kekuatan politik yang efektif sebagai pressure group, kelompok penekan, yang akhirnya memaksa Amerika menarik diri dari Vietnam pada 1973.

Bagi mereka yang berhaluan Marxis kiri, musik pop adalah bagian dari pop culture (budaya pop) yang merupakan hasil dari industri budaya massa yang ditunjang oleh model produksi kaptitalisme.

Pop culture dianggap sebagai penyeragaman selera oleh industri budaya massa, yang menghasilkan produk berselera rendah untuk mengeruk keuntungan finansial sebesar-besarnya.

Budaya pop menghasilkan budaya massa yang menghilangkan budaya tinggi yang kontemplatif dan membebaskan. Budaya pop harus dilawan supaya masyarakat terbebaskan. Karena itu Marxisme dan sosialisme menawarkan pembebasan dari budaya pop yang kapitalistis.

Sebagian kalangan Islam juga melihat musik dan budaya pop dari kacamata kritis, dan menganggapnya sebagai kekuatan destruktif yang menjauhkan orang dari kesadaran religius. Karena itu musik dan budaya pop diharamkan.

Pandangan seperti itu kontroversial. Banyak ulama fikih yang menentang dan memberi alternatif yang lebih moderat. Yusuf Al-Qardhawi, ulama fikih terkemuka asal Qatar menulis kitab Fiqhul Musiq atau Fikih Musik yang memberi argumen kuat bahwa musik tidak haram.

Pandangan Al-Qardhawi ini sampai sekarang menjadi pegangan utama kalangan yang menganggap musik tidak haram.

Di sisi lain, kelompok-kelompok salaf yang menghendaki pemurnian praktik agama, menganggap musik dengan segala bentuknya adalah haram. Yang dibolehkan adalah bunyi-bunyian sederhana atau nyanyian tanpa musik pengiring.

Perdebatan musik haram atau halal bukan debat baru. Sudah menjadi salah satu perbedaan sejak dulu kala.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News