Hari Maritim: Beribu Maaf, Sriwijaya Bukan Nama Kerajaan

Hari Maritim: Beribu Maaf, Sriwijaya Bukan Nama Kerajaan
Wenri Wanhar, di tengah samudra. Foto: Instagram

Karena terlampau bersemangat, kata “zabag” pun secara serampangan mereka belokkan jadi “sriwijaya”.

Ketimbang “sriwijaya”, bila dibunyikan, bukankah “san fo tsi” dalam berita Cina itu terdengar “sang bhodi”? dan “shih-li-fo-shih” lebih cocok—berdasarkan dialek dan aksara Cina lebih kena dibaca “sri bhodi”?

Bagaimana dengan “cha-li-fo-cha”,“sribuza” dan “sriboga”? Sungguh--ini tak mungkin keliru--lebih tepat dibaca SRI BUDDHA.

Demi ilmu pengetahuan...maaf beribu maaf. Sriwijaya bukan nama kerajaan. Bukan pula nama seorang raja.

Kekuatan maritim berpengaruh pada masa lampau, yang tumbuh subur di Kepulauan Hindia—negeri yang hari ini bernama Indonesia--adalah SRI BUDDHA.

Sriwijaya memang muncul dalam sejumlah prasasti dan batu bersurat. Dan, seluruhnya diiringi kata kedatuan dan datuk.

Ya, Sriwijaya memang kedatuan; kedaton!

Semacam civitas akademika. Perguruan tinggi. Kampus tempat orang mengampuh ilmu.

Karena keilmuwannya yang ber-“alam luas berpadang lebar”, alumni kedaton disebut dato; datu; datuk; datuak.

Sejarawan Wenri Wanhar punya kisah tentang Sriwijaya, yang sedikit banyaknya akan dibahas dalam musyawarah di kedaton Candi Muara Jambi siang ini.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News