Hatta Rajasa Menyapa Penderes Gula Semut

Pagi Ini, Sambung Rasa Bagi Ilmu di Waduk Sermo Kulonprogo

Hatta Rajasa Menyapa Penderes Gula Semut
Menko Perekonomian Hatta Rajasa. JPNN.com

jpnn.com - WATES – Semangat para penderes gula semut (gula aren, gula dari pohon kelapa, red) untuk meningkatkan derajad hidupnya, betul-betul mengundang perhatian Menko Perekonomian Hatta Rajasa. Kamis (30/1) pagi ini, pria yang lahir di Palembang, 18 Desember 1953 itu bakal bersambung rasa bagi ilmu dengan sekitar 1.500 pemanjat pohon yang setiap harinya naik turun sekitar 10-15 pohon itu. Tepatnya di Objek Wisata Waduk Sermo, Kecamtan Kokap, Kabupaten Kulonprogo, Jogjakarta.

“Mereka adalah pejuang-pejuang yang setia dengan mata pencahariannya. Karena itu, mereka harus terus maju dan berkembang, serta menaikkan taraf hidup dan kesejahteraannya dengan usaha,” ucap Hatta Rajasa yang hari ini akan didampingi Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, Wagub DIY Sri Paduka Paku Alam IX, dan Bupati Kulonprogo Hasto Wardoyo.  

Hatta yang berlatar belakang pengusaha itu menangkap, ada banyak ide untuk mengembangkan usaha mereka. Tidak hanya memungut nira di atas ketinggian 10-12 meter di puncak pohon kelapa saja. Tetapi mengolah, mengemas, sekaligus memasarkan dengan baik. Dengan sentuhan teknologi, ilmu pengetahuan, dan akses permodalan, mereka bisa mendapatkan velue yang lebih maksimal dari yang dikerjakan sekarang.

“Yang penting, mereka tetap semangat untuk menjaga agar produk nira yang dihasilkan betul-betul organic,” tutur Hatta yang juga Ketua Umum DPP PAN itu.

Pekerjaan penderes yang sarat risiko itu, lanjut Hatta, memang bukan pilihan utama. Tetapi mungkin, itu terpaksa dilakukan karena belum menemukan pilihan lain. Memanjat secara tradisional, tanpa alat pengaman, tanpa jaminan asuransi kecelakaan, tanpa henti, sehari dua kali, tiap pagi 06.00 – 09.00 dan sore 16.00-17.00 WIB memang pekerjaan yang cukup keras.  Jika rata-rata memanjat 10 pohon saja, maka naik turun panjat pohon kelapanya sudah 20 kali.

Seperti diketahui, hampir setiap tahun ada saja korban meninggal, atau cacat seumur hidup, gara-gara jatuh dari pohon kelapa. Dan, mereka tidak dijamin oleh BPJS, karena sebagai buruh deres, maupun petani penderes, rata-rata tidak sanggup membayar premi asuransi yang mulai 2014 sudah menjadi badan pemerintah di bawah presiden itu.

Belum lagi pada saat hujan? Atau musim hujan, pagi atau sore turun hujan. Mereka menghadapi kendala pekerjaan yang berat. Lebih licin, lebih rawan terpeleset, rawan jatuh, dan rawan tersambar petir. Apalagi pohon kelapa itu rata-rata tumbuh tinggi, dengan satu batang (monokotil) yang menonjol di antara pepohonan lain.

Di balik sulitnya menderes itu, sejatinya bisnis gula semut memiliki prospek yang baik dan terbuka bagi agro industri. Gula semut itu diproses menjadi brown sugar, gula cokelat, mirip gula pasir yang berwarna merah. Tetapi berbeda dengan gula merah yang sering dipakai oleh orang Jogja-Solo untuk campuran pemanis sayuran. Mereka menyebut gula semut, karena ketika diolah, dipanaskan, dikeringkan, sehingga kadar air tinggal 2-3 persen saja. Maka warnanya menjadi cokelat dan bentuknya mirip rumah semut.

WATES – Semangat para penderes gula semut (gula aren, gula dari pohon kelapa, red) untuk meningkatkan derajad hidupnya, betul-betul mengundang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News