HNW Minta Menag Jangan Terus Resahkan Umat dengan Isu Radikalisme dan Sertifikasi Da’i

HNW Minta Menag Jangan Terus Resahkan Umat dengan Isu Radikalisme dan Sertifikasi Da’i
Wakil Ketua MPR RI, Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid. Foto: Humas MPR RI

“Juga radikalisme yang karena bertentangan dengan Pancasila juga menghancurkan moral bangsa seperti LGBT (via berkali-kali pesta seks ratusan gay), pedopilia (korbannya lebih dari 350 anak dalam kasus dengan pedopil dari Prancis), korupsi, dan termasuk yang dikeluhkan oleh MenPAN-RB yaitu Poliandri, suatu praktik dari ideologi radikal yang menyimpang dari ajaran Agama dan hukum di Indonesia, tetapi yang mulai jadi tren di kalangan ASN,” kata HNW.

Sayang sekali, kata HNW, Menteri Agama sama sekali tidak menyinggung, malah diam seribu bahasa, terhadap bahayanya beragam praktik ideologi radikal yang dicemaskan oleh masyarakat Umum, dan melanggar aturan hukum dan membahayakan eksistensi NKRI itu.

Menurut HNW, yang dijelaskan oleh Menag terkait praktik dan penyebaran radikalisme hanya menyasar pada kelompok umat Islam, itu pun secara generalisasi tanpa fakta lapangan yang terukur dan tidak diskriminatif, karena terminologi dan contoh yang digunakannya sangat mengarah pada agama dan Umat Islam, yaitu penyebaran radikalisme melalui pemuda good looking, hafidh alQuran, bisa bahasa Arab jadi Imam di Masjid.

“Padahal beliau berbicara pada forum umum di Kementrian PAN-RB yang wajarnya ingin agar ASN bebas dari segala bentuk radikalisme termasuk komunisme, pedopilia, poliandri, LGBT dan lain-lainnya,” katanya.

Oleh karena itu, seharusnya Menag segera mengoreksi pernyataan-pernyataan dan program-program yang meresahkan Umat Islam itu, dan tidak mencari celah dan alasan-alasan dengan melemparkan masalahnya ke MenPAN-RB.

Menag seharusnya ingat betul bahwa Kementerian Agama didirikan tanggal 3 Januari 1946 sebagai terima kasih negara pada umat Islam yang telah rela demi keselamatan Proklamasi dan NKRI dari  ancaman separasi minoritas dari Indonesia Timur, maka Umat Islam rela berkorban sila pertama diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga Pemerintah RI (Presiden Soekarno) memberi hadiah dengan didirikannya Kementerian Agama.

“Sangat penting untuk diingat oleh Menag sehingga kebijakan yang dikeluarkan adalah kebijakan yang adil dan mencerminkan realisasi dari sejarah dan tidak malah mencurigai dan berlaku tidak adil kepada Umat Islam dengan isu  radikalisme, terorisme, dan sebaiknya Menag tidak lanjutkan tindakan/kebijakan tidak adil kepada Umat Islam, tidak-bijakan yang bisa memecahbelah Umat yang telah berjasa bagi hadir dan selamatnya NKRI dari penjajahan Asing dan pemberontakan PKI,” katanya.

“Tetapi saya apresiasi, Menag dalam rapat kerja dengan Komisi VIII, akhirnya menerima kritik keras dan penolakan dari Komisi VIII tentang pemotongan Rp 100.000 BOS per siswa yang dilakukan oleh Kemenag untuk Siswa Madrasah dan Pesantren (yang merupakan bagian dari pemotongan anggaran pendidikan Kemenag sebesar Rp 2 Triliun),” katanya.

Seharusnya Menag segera mengoreksi pernyataan-pernyataan dan program-program yang meresahkan Umat Islam itu, dan tidak mencari celah dan alasan-alasan dengan melemparkan masalahnya ke MenPAN-RB.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News