Idulfitri dan Rezimentasi Agama

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Idulfitri dan Rezimentasi Agama
Salat Idulfitri di Masjid Kubah Emas, Depok, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Foto: Ricardo

jpnn.com - Ribut-ribut soal perbedaan Idulfitri tahun ini memunculkan sinyalemen terjadinya rezimentasi agama. Hal itu diungkapkan oleh elite Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah menanggapi munculnya penolakan izin penggunaan lapangan untuk salat id di beberapa daerah.

Di Pekalongan, Sukabumi, dan Surakarta, pengurus Muhammadiyah tidak diberi izin untuk memakai fasilitas umum lapangan untuk tempat salat id. Alasan yang diberikan adalah bahwa otoritas setempat mengikuti keputusan pemerintah yang kemungkinan besar akan berbeda dengan keputusan Muhammadiyah.

Insiden ini menempatkan Muhammadiyah seolah-olah berada pada posisi detrimental, seolah-olah berada pada posisi yang berhadap-hadapan. Ada upaya untuk menyeragamkan urusan yang berhubungan dengan ubudiyah, tata cara peribadatan, oleh pemerintah. Seharusnya tata cara ubudiyah itu menjadi domain agama yang bebas dari campur tangan pemerintah.

Jika terjadi perbedaan pendapat di antara para penganut agama maka hal itu dianggap sebagai bagian dari ikhtilaf, yang sudah mewarnai sejarah panjang umat Islam. Ikhtilaf, atau kontroversi, yang sifatnya furu’iyah atau praktikal, bisa diselesaikan di antara para penganut agama itu tanpa intervensi kekuasaan.

Rezimentasi terjadi ketika pemerintah dengan otoritasnya menyeragamkan praktik keagamaan yang sifatnya praktikal itu. Penolakan di beberapa daerah itu oleh PP Muhammadiyah dianggap sebagai munculnya gejala rezimentasi, yang cenderung mengarah kepada totalitarianisme yang mengancam pluralisme demokrasi.

Totalitarianisme menghendaki adanya kekuasaan dan penguasaan yang bersifat total. Seluruh unsur harus submisif tunduk terhadap kekuasaan. Totalitarianisme menghendaki ketundukan yang total terhadap kekuasaan. Totalotarianisme bertentangan dengan prinsip pluralisme yang menjadi inti demokrasi.

Totalitarianisme memandang perbedaan pendapat sebagai oposisi biner. Perbedaan pendapat dianggap sebagai bagian dari ‘’mereka’’ dan berada di luar kelompok ‘’kami’’. Mereka yang beda pendapat dianggap sebagai bagian dari liyan, other, yang tidak bisa diterima.

Totalitarianisme adalah politik warisan penjajah yang sudah mengurat mengakar terinternalisasi dalam praktik politik sehari-hari. Praktik laten itulah yang berusaha dikikis oleh para pegiat poskolonialisme. Dalam perspektif poskolonialisme, mereka yang berbeda ini dimasukkan dalam kategori kelompok subaltern.

Insiden itu menempatkan Muhammadiyah seolah-olah berada pada posisi yang berhadap-hadapan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News