Idulfitri dan Rezimentasi Agama

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Idulfitri dan Rezimentasi Agama
Salat Idulfitri di Masjid Kubah Emas, Depok, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Foto: Ricardo

Dalam teori kritis dan pascakolonialisme, istilah subaltern mengacu pada penduduk yang secara sosial, politis, dan geografis berada di luar struktur kekuasaan hegemonik koloni dan tanah air kolonial. Kata subaltern dicetuskan oleh Antonio Gramsci dalam tulisan-tulisannya tentang hegemoni budaya. Teori ini kemudian diadopsi oleh Gayatri Spivak dan banyak dipakai oleh para aktivis gender dan feminisme.

Fenomena kemunculan rezimentasi ternyata sudah diantisipasi oleh Muhammadiyah. Dalam muktamar ke-48 di Surakarta tahun lalu isu rezimentasi menjadi satu di antara tujuh isu keumatan utama yang menjadi perhatian serius Muhammadiyah.

Terdapat tujuh isu keumatan yang dibahas dan ditetapkan pada muktamar Surakarta.

Pertama, rezimentasi agama atau standardisasi pemahaman agama oleh pemerintah, termasuk soal tata cara ubudiyah berdasarkan mazhab tertentu.

Kedua, kesalehan digital.

Ketiga, terkait dengan persaudaraan sesama muslim (ukhuwah islamiyah). Selama ini ukhuwah susah dicapai karena ada ego kelompok yang merasa paling benar, ditambah dengan adanya perbedaan kepentingan.

Keempat, penguatan tata kelola akuntabilitas filantropi Islam.

Kelima, beragama yang mencerahkan. Sering kali di masyarakat, dakwah agama kita, atau sebagian dakwah dan keagamaan kita, belum mencerahkan. Masih ada tindak kekerasan atau kesewenangan.

Insiden itu menempatkan Muhammadiyah seolah-olah berada pada posisi yang berhadap-hadapan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News