Indonesia Butuh Perubahan Radikal untuk Target Rendah Karbon

Indonesia Butuh Perubahan Radikal untuk Target Rendah Karbon
Ilustrasi. Pembangkit listrik. Foto dok PLN

Penggunaan energi fosil lainnya untuk pembangkit listrik pun mengalami peningkatan, seperti dari gas, combine cycle, diesel, dan gas engine yang meningkat di kisaran 1.600 MW hingga 4.300 MW dalam kurun waktu 14 tahun tersebut.

Sementara itu, perkembangan kapasitas terpasang pembangkit EBT memang mengalami peningkatan dan semakin beragam tidak hanya hidro dan panas bumi saja, namun bertambah dengan angin, mikrohidro, minihidro, surya,  waste, biogas, dan biomassa.

Tambahan kapasitas EBT terpasang terbesar dalam waktu 14 tahun yakni pembangkit listrik dari air yang pada 2004 mencapai 3.200 MW menjadi 5.370 MW pada 2018.

Pembangkit EBT pendatang baru yang bertambah cukup besar pada 2018 adalah biomassa yang mencapai 1.758 MW.

Namun, meski jumlah bauran EBT semakin naik dan beragam, sumbangannya untuk total penambahan kapasitas terpasang pembangkit listrik di Indonesia dalam 14 tahun dari 2004 ke 2018 hanya 0,16 persen.

Berdasarkan data Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA), harga listrik dari beberapa sumber pembangkit EBT mengalami penurunan sangat signifikan dalam periode delapan tahun, dari 2010 ke 2018.

Listrik dari panel surya (solar photovoltaic) pada 2010 seharga 0,371 dolar AS per kWh maka pada 2018 menjadi 0,085 dolar AS per kWh.

Sedangkan, listrik dari PLTA meski mengalami peningkatan, namun masih menjadi termurah di antara EBT lainnya, seperti panas bumi, bioenergi, dan angin.

Indonesia membutuhkan perubahan radikal di sektor energi, untuk mencapai target pembangunan rendah karbon.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News