Industri Pariwisata Harus Dikelola dengan Budaya Digital

Industri Pariwisata Harus Dikelola dengan Budaya Digital
Arief Yahya. Foto: dok.JPNN.com

Sebagai bisnis, pariwisata atau tourism sangat dekat dengan telekomunikasi dan transportasi.

Karena itu Arief Yahya tidak terlalu sulit melakukan penyesuaian diri dalam mengelola pariwisata. Tidak terlalu meragukan, jika pariwisata dijadikan sebagai core ekonomi Indonesia ke depan. 

“Di internal Kemenpar sendiri kami sudah terbiasa dengan bekerja dengan solid, speed, dan smart!” kata Arief yang memang terus menyiapkan SDM-nya untuk menjemput era digital.

Pariwisata Indonesia, menurut dia, memiliki banyak keunggulan kompetitif dan komparatif. Selain SDM yang sudah terus ditempa dengan corporate culture yang biasa disingkat 3S itu.

Pertama, pariwisata adalah penghasil devisa terbesar di tahun 2019. Industri pariwisata diproyeksikan menjadi penghasil devisa terbesar di Indonesia yaitu USD 24 miliar, melampaui sektor Migas (oil and gas), Batubara (coal) dan Minyak Kelapa Sawit (CPO) yang belakangan kondisinya terus menurun.

“Devisa di pariwisata itu langsung dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Diterima di dalam negeri, dan terdistribusi langsung ke masyarakat,” ungkap dia.

Kedua, pariwisata juga terbaik di regional. Tahun 2019, Pariwisata Indonesia ditargetkan menjadi yang terbaik di kawasan regional, bahkan melampaui ASEAN. 

Pesaing utama Indonesia adalah Thailand dengan devisa pariwisata lebih dari USD 40 miliar, sedangkan negara lainnya relatif mudah dikalahkan.

JAKARTA – Rakornas Kemenpar III “Go Digital Be The Best” 2016 telah berlangsung di Ecovention, Ecopark Ancol, Jakarta, 15-16 September

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News