Inilah Tasbih dari Sembilan Kayu dan Maknanya

Inilah Tasbih dari Sembilan Kayu dan Maknanya
Katmadi, pembuat tasbih dengan sembilan kayu di Tulungagung. Foto: Radar Tulungagung/Jawa Pos/JPNN

Tasbih buatan Katmadi terbilang istimewa. Warga Desa Simo, Kecamatan Kedungwaru, tersebut merangkai tasbih dengan sembilan jenis kayu yang berbeda.

WHENDY GIGH PERKASA, Tulungagung

RUMAH sederhana milik Katmadi di RT7/RW3 Desa Simo menjadi tempat produksi tasbih. Pria itu masih menggunakan cara tradisional untuk merangkai tasbih. Di antaranya, mesin bubut manual, gergaji tangan, pisau, dan lain sebagainya.

Saat wartawan Jawa Pos Radar Tulungagung tiba di rumahnya, Katmadi sibuk menggarap pesanan tasbih. Banyak bahan baku berupa kayu nagasari dan beberapa jenis kayu lain yang tergelak di halaman belakang rumahnya. Dia tidak sendiri. Ada tiga pria yang membantunya.

Menurut Katmadi, usaha pembuatan tasbih itu digeluti sejak 1993. Usaha tersebut berawal dari saudaranya di Ngawi, kemudian dikembangkan bersama-sama di Tulungagung. Dia lalu mengembangkan usahanya, termasuk membuat tongkat serta bidak catur.

Katmadi merupakan ahli dalam membuat tasbih yang terdiri atas sembilan kayu yang dikenal bertuah. Dalam serangkai, warna kayu berbeda-beda. Mulai cokelat, hitam, serta kekuningan. Pola serta kayu juga berbeda-beda.

''Untuk pembuatan biji tasbih, saya menggunakan sembilan kayu yang berbeda. Ide itu terinspirasi dari sembilan wali (Walisongo, Red) penyebar agama Islam,'' katanya.

Sembilan kayu tersebut adalah cendana jawa, setigi laut, nagasari, secang bromo, walikukun, galih asem, liwung, dewa daru, dan johar. Untuk mendapatkan kayu itu, Katmadi tidak sembarangan. Misalnya, setigi laut yang hanya bisa ditemukan dengan ritual atau doa. Selain itu, kayu tersebut hanya bisa diperoleh di laut.

''Khusus untuk tasbih sembilan kayu, tidak saya buat setiap hari. Jika ada pesanan saja,'' ungkapnya.

Bapak lima anak itu menjelaskan, salah satu jenis kayu yang dipakai adalah setigi yang memiliki manfaat antiracun, antidaya negatif, keselamatan, serta rezeki.

Kayu nagasari melambangkan kewibawaan, antipetir, keharmonisan keluarga, dan lain sebagainya yang bersifat universal. Kayu dewa daru berfungsi untuk keselamatan dan kewibawaan, namun tidak untuk anti racun. Kayu lain juga memiliki manfaat yang beragam.

Untuk pembuatan, Katmadi mengaku sama dengan tasbih lainnya. Kayu dipotong kecil, lalu dibentuk bulat memanjang menggunakan bubut. Setelah itu, kayu dibubut kembali untuk dibentuk bulatan kecil.

Tahap berikutnya, kayu dibor di bagian tengah untuk memasukan tali yang berfungsi merangkaian biji satu dengan biji tasbih lainnya. Pembentukan biji tasbih merupakan tahap paling sulit. Sebab, keseimbangan sisi harus diperhatikan. Jika tidak, bentuk bulatan tidak pas dan cenderung jelek.

 ''Karena itu, bukan sembarang orang yang mengerjakan tahap tersebut. Orang itu harus memiliki teknik yang tepat,'' ucapnya.

Sebelum dirangkai, biji tasbih saling digosok. Caranya, ratusan biji tasbih saling digosok dengan cara dibungkus kain. Dengan cara itu, bijih tasbih menjadi lebih mengilap tanpa bahan kimia.

''Saya memang tidak memakai bahan kimia. Eman-eman kayunya. Sebab, ini bukan kayu sembarangan,'' ujar Katmadi.

Katmadi mengaku sudah banyak yang membeli. Bukan hanya warga Kota Marmer, tapi juga dari luar daerah. Seperti Surabaya, Malang, Kediri, Jombang, bahkan luar pulau. Setiap serangkai tasbih yang berisi 100 biji dijual seharga Rp 125 ribu, sedangkan untuk gelang sekitar Rp 50 ribu. (*/and/c5/ai)

 



Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News