Kamala

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Kamala
Kamala Harris. REUTERS/Evelyn Hockstein

Biden malah main pingpong politik dengan menyalahkan Donald Trump yang dianggapnya membuat kesalahan kebijakan di Afghanistan. Trump, yang selama ini selalu vokal mengkritik Biden, menyerang balik dengan menyebut Biden melakukan blunder, dan menganggap Biden tidak layak menjadi presiden.

Sikap Biden dalam menghadapi krisis Afghanistan ini memang cenderung aneh. Ia seperti kurang update terhadap perkembangan terbaru. Ia cenderung tertutup terhadap pers, dan memberi briefing pers dengan informasi yang setengah-setengah dan tidak komprehensif.

Selama seminggu terkahir ia tidak memberi keterangan pers, dan baru mau memberikan wawancara hanya kepada satu wartawan saja. Itu pun Biden membuat pernyataan yang membuat publik bingung.

Biden mengatakan bahwa tidak ada korban di jiwa dalam proses evakuasi di Kabul. Padahal, sudah jelas ada 12 orang yang tewas ketika berusaha berebut masuk pesawat untuk evakuasi. Bahkan, dua orang jatuh dari ketinggian karena ‘’nggandol’’ di roda pesawat.

Cara Biden meng-handle krisis Afghanistan yang kurang efektif ini memunculkan tuduhan bahwa Biden tidak layak menjadi presiden, dan dianggap tidak ‘’fit to govern’’.

Lawan politiknya di Partai Republik berinisiatif ‘’memecat’’ Biden dengan menerapkan Amendemen ke-25 Konstitusi Amerika Serikat. Dalam amendemen itu, seorang presiden bisa diberhentikan karena tidak layak memerintah, tidak ‘’fit to govern’’, karena tidak efektif dalam mengambil keputusan.

Dalam situasi Biden yang terdesak, Wakil Presiden Kamala Harris seharusnya mengambil peran yang lebih aktif.

Alih-alih, Kamala malah memperburuk situasi. Ia ikut-ikutan menghilang selama seminggu terakhir terjadinya krisis.

Konon Kamala Harris malah memperburuk situasi. Ia ikut-ikutan menghilang selama seminggu terakhir terjadinya krisis.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News