Kasus ‘Polisi Tembak Polisi’ Peran Opini Publik dan Pengawasan Publik

Oleh: Prof. Dr. Tjipta Lesmana 

Kasus ‘Polisi Tembak Polisi’ Peran Opini Publik dan Pengawasan Publik
Prof Tjipta Lesmana. Foto: Ricardo/JPNN.com

Opinion surveillance, pengawasan opini, di negara-negara seperti Indonesia, biasanya dilakukan oleh pemerintah, khususnhya dalam bentuk peraturan pemerintah atau undang-undang (UU Tentang Pers dan ITE, misalnya) dengan asumsi, opini tidak boleh dilepas secara liar. 

Di seantero dunia, termasuk di negara-negara barat, kebebasan menyatakan pendapat–termasuk kebebasan pers–ada batasnya.

Memang batas kebebasan menyatakan pendapat kerapkali menjadi kontroversi dan benturan pendapat antara pelaku media/pers dan pemerintah. 

Misalnya, isu tentang penghinaan dan/atau kritik terhadap kepala negara dan pejabat tinggi pemerintah.

Isu ini sampai hari ini masih belum final dan jadi perdebatan panas dalam RKUHP.Dalam kasus ‘polisi tembak polisi’, misalnya, berbagai pihak sudah memberikan peringatan kepada keluarga/penasihat hukum Brigadir Joshua dan pengamat untuk tidak “offside” atau masuk dalam “kubangan” asas praduga tak bersalah.

Namun, di sisi lain masyarakat menolak narasi satu versi dari pihak Kepolisian. 

Artinya, versi polisi diyakini bukan the whole truth bahkan makin lama makin terungkap kejanggalan demi kejanggalan dari versi polisi. 

Misalnya, kenapa kematian Brigadir J baru diungkap 3 hari kemudian, mengapa CCTV mati, kenapa hasil autopsi dibuka tanpa kehadiran keluarga, kenapa awalnya bahkan keluarga dilarang membuka peti mati korban, kenapa di wajah dan tubuh Brigadir J terdapat sekian banyak luka sayatan, apa betul 6 peluru dari Barada H semua menembus tubuh J sedang 5 peluru Brigadir J tidak satu pun mengenai tubuh H. 

Tjipta Lesmana berbicara soal kasus polisi tembak polisi, peran opini publik dan pengawasan publik.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News