Katalog Offline

Oleh: Dahlan Iskan

Katalog Offline
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

TKDN itu harus paling rendah 40 persen. Satu produk baru boleh disebut sebagai produk dalam negeri kalau "unsur" impornya tidak lebih dari 60 persen.

Kian tinggi TKDN, kian prioritas untuk dibeli. Mestinya. Pun ketika harganya sedikit lebih mahal daripada yang impor.

"Maaf, kita ini pintar-pintar, tapi kok caranya bodoh sekali, saya harus ngomong apa adanya. Ini uang APBN loh, ini uang APBD loh, belinya produk impor. Nilai tambahnya yang dapat negara lain, lapangan kerja yang dapat orang lain, apa enggak bodoh?” kata presiden.

Untuk membuktikan produk Anda bodoh atau tidak –ups salah. Untuk membuktikan produk Anda punya komponen dalam negeri atau tidak, Anda harus mengurus sertifikat. Sertifikatlah yang menentukan semua itu.

Yang berhak mengeluarkan sertifikat adalah Kementerian Perindustrian. Anda harus mengurus ke sana. Barang Anda akan diperiksa. Lalu, keluarlah sertifikat: berapa persen TKDN Anda. Anda berhasil. Atau Anda tidak berhasil.

Bisa saja Anda gagal mendapat sertifikat karena tidak bisa membuktikan asal-usul komponen itu. Atau tidak mampu membayar biayanya.

Padahal, sertifikat TKDN itu harus ”dilampirkan” di kolom TKDN di aplikasi e-katalog LKPP.

Mungkin banyak UMKM yang berat bayar biaya sertifikasi TKDN. Mereka memilih berspekulasi: masuk saja ke e-katalog LKPP. Pun tanpa sertifikat TKDN. Toh tidak dicekal. Tidak diperiksa.

Pertama marah, Presiden Jokowi menetapkan target: pembelian barang dalam negeri harus mencapai Rp 400 triliun di akhir Mei 2022. Target itu meleset.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News