Kebat Kliwat

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Kebat Kliwat
Dhimam Abror Djuraid. Foto: Ricardo/JPNN.com

Orang Jawa berpikir mendalam sebelum bertindak. Pikiran dan penggalih, otak dan nurani, dua hal yang selalu berjalan seiring menjadi kesatuan yang harmonis.

Ketika melangkah orang Jawa diingatkan supaya ‘’ati-ati’’ atau hati-hati. Setiap kali pamit kepada orang tua hendak keluar rumah untuk mengerjakan segala hal, orang tua mengingatkan supaya hati-hati. Di mana pun dan kapan pun.

Semua orang tua pasti mengingatkan anaknya supaya hati-hati. Tidak ada, misalnya, yang mengingatkan supaya ‘’tangan-tangan’’, atau ‘’kepala-kepala’’, atau ‘’dengkul-dengkul’’, karena orang Jawa harus melakukan segala sesuatu dengan hati.

Budaya Jawa ini dianggap bertentangan dengan budaya modern yang serbacepat dan terburu-buru. Time is money, waktu adalah uang, diukur dengan uang, karena budaya modern Barat berpijak pada materialisme. Segala sesuatu diukur dengan uang, dan karena itu waktu juga adalah uang.

Akselerasi, kecepatan, efektivitas, efisiensi, dan produktivitas, adalah mantra-mantra modernitas. Waktu adalah kecepatan, siapa yang lambat dia akan digilas oleh waktu dan modernitas. Orang modern mengartikan modernitas dengan menghargai waktu.

Di Jawa orang hidup dengan waktu yang lambat atau mundur. Jam karet hanya ada di Indonesia. Waktu di Indonesia bisa mulur dan mengkeret setiap saat. Undangan untuk sebuah acara sering disebut jam sekian sampai selesai.

Ketika ada satu acara kita tidak bisa merencanakan acara berikutnya karena kita tidak tahu jam berapa acara akan selesai.

Undangan di Indonesia sering juga menyebutkan waktu ‘’Bakda Isya’’. Acara akan dimulai bakda isya, bisa jam tujuh atau sembilan malam. Sebuah pengajian umum di kampung bisa berlangsung sampai lewat tengah malam, karena sang penceramah baru selesai dari acara lain menjelang jam 12 malam.

Orang Jawa juga punya frasa kebat kliwat yang kurang lebih artinya cepat, tetapi terlewat.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News